Pengikut

Jumat, 26 Oktober 2018

SKRIPSI


PERAN TUA-TUA ADAT DI KAMPUNG GULUNG DALAM UPAYA PEMERTAHANAN MBARU GENDANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN TENTANG BUDAYA MANGGARAI KEPADA ANAK


SKRIPSI

Diajukan Kepada
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan St. Paulus Ruteng
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Pendidikan


 




OVANTUS YAKOP
NPM: 13.31.3018


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SANTU PAULUS RUTENG
2017


 


ABSTRAK
Yakop, Ovantus. 2017. Peran Tua-tua Adat di Kampung Gulung Dalam Upaya Pemertahanan Mbaru Gendang dan Implikasinya Terhadap Pendidikan tentang Budaya Manggarai Kepada Anak. Skripsi:STKIP St. Paulus Ruteng. Dibimbing oleh Dr. Inosensius Sutam, sebagai pembimbing I dan Arnoldus Helmon, M.Pd sebagai pembimbing II.
Kata Kunci:   Peran Tua-tua adat, pemertahanan mbaru gendangdan pendidikan anak.
            Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya realitas pergeserandalam pemertahanan mbaru gendang sebagai elemen budaya dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai termasuk didalamnya adalahgendang di Kampung Gulung.Pemertahanan mbaru gendang yang dimaksud adalah peranyang dilakukan olehtu’a-tu’aadatdan implikasinya terhadap pendidikan budaya Manggarai kepada anak.Merujuk pada realitas tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran tu’a-tu’a adat di gendang Kampung Gulung dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikantentang budaya Manggarai kepada anak di Kampung Gulung.
            Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Gulung, Desa Pong Leko, Kecamatan Ruteng. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur terhadap tua-tua adat. Teknik analisis data menggunakan teknik yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
            Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang berimplikasi terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Pemertahanan mbaru gendang tersebut bagi mereka merupakan suatu keharusan dan bentuk tanggung jawab atas perannya masing-masing. Berbagai peran yang dilakonioleh para tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang berimplikasi langsung terhadap pemertahanan mbaru gendang.Peran tua-tua adat sebagai pemimpin umumuntuk menyatukan seluruh warga kampung, melalui garis komando dan koordinasi antara tua dengan fungsi mbaru gendang sebagai pusat diselenggarakannya berbagai kepentingan umum maupun khusus memiliki kesamaan makna dalam konteks pemertahanan mbaru gendang. Kesamaan itu, diwujudnyatakan melaluilonton bongkok dan peran tu’a golo sebagai pemimpin umum warga kampung, riang niang dan peran masing-masing tu’a menjadi tanda yang membedakan mereka dengan tu’a-tu’a lain yang ada dalam suatu kampung. Makna peran tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang akan mendorong segenap anggota masyarakat untuk melibatkan diri dalam berbagai jenis upacara yang dijalankan di mbaru gendang.
                                    
Kendatipun dalam potret realitas fungsi mbaru gendang belum optimal, tetapi para tua-tua adat di Kampung Gulung mengakui bahwa melalui perannya dalam fungsimbaru gendang sebagai pusat digalakkan berbagai ritus-ritus adat dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
Dalam berbagai peran yang dilakoni oleh masing-masing tua-tua adat dalam mbaru gendang, seluruh warga kampung mulai dari anak-anak hingga orangtua, memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan tentang budaya Manggarai. Bentuk pendidikan budaya tersebut, terungkap dalam berbagai kesempatan penting diantaranya:Pertama, lonto l ok atau lonto liupyang mencerminkan nilai gotong-royong, dan menumbuhkan kedekatan emosioanal diantara warga kampung. Kedua, ritus-ritus yang dilaksanakan mengungkapkan relasi dengan para leluhur agar selalu diberi kesehatan, kesuksesan dan kedamaian. Ketiga, berbagai peralatan budaya yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan tertentu akan membangkitkan semangat dalam mengenal dan mempelajari berbagai jenis pukulan gong, gendang serta peralatan caci. Keempat, sanda dan mbata yang diselenggarakan tersirat mengajarkan aneka nilai positif bagi segenap warga kampung.
Peran tua-tua adat dan mbaru gendang memiliki hubungan yang erat, baik melalui makna dalam peran  maupun dalam fungsi mbaru gendang. Kedua hubungan tersebut berimplikasi langsung terhadap akses pendidikan anak tentang budaya Manggarai.












                                                             BAB I                 
                                                   PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Salah satu kapital sosial yang ada dan hidup dalam masyarakat Manggarai yakni lembaga adat. Lembaga adat memiliki peran penting sebagai pelaku utama atas kebudayaan dalam sebuah komunitas kecil yang kerap disebut sebagai b o/golo lonto (kampung). Menurut Verheijen (1991:25),b omerupakan kesatuan terkecil dan sekaligus sakral.
Setiap kesatuan sosial terkecil dikatakan sebagai sebuahb o apabila ditandai dengan adanya unsur-unsur berikut.Pertama, lembaga adat yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno dan tu’a panga. Kedua, memiliki mbaru gendang (rumah adat) yang dilengkapi dengan berbagai peralatan budaya. Ketiga, mempunyai wilayah kekuasaan oleh kesatuan masyarakat hukum adat (lingko) (Bdk. Janggur, 2008: 225-226).
 Perpaduan ketiga unsur tersebut, menggambarkan keterkaitan antara keberadaan para tu’a-tu’a adat dalam suatu kampung dengan mbaru gendang dan lingko. Pandangan masyarakat Manggarai, hal tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sebuah go’ t (ungkapan) “gendang on -lingko p ang’’ (gendang yang digantungkan pada rumah adat menjadi satu kesatuan yang utuh dengan lingko-lingko yang menjadi hak warga masyarakat setempat). Ungkapan tersebut tentunya dipandang sebagai petunjuk sekaligus pedoman yang menggarahkan segenap anggota perseketuan.
Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; Pertama, aspek historis berdiri dan terbentuknya sebuah b  oleh para leluhur sehingga mereka di posisikan sebagai ata tu’a laing on  ca b o (yang tertua dalam sebuah kampung). Kedua, seorang tu’a golo dipilih dilihat dari usia (ata ngaso/ka laing) dan memahami adat-istiadat.Ketiga, tu’a teno dipilih  berdasarkan pergiliran keturunan, baik dari keturunan kakak maupun adik. Keempat, tu’a panga yang merupakan utusan dari setiap keluarga ranting (Bdk. Nggoro, 2006: 76-78).
Eksitensi lembaga adat di Manggarai mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, segala bentuk perilaku-perilaku individu yang melanggar hukum norma adat dalam kehidupan bersama di suatu kampung, dilimpahkan kepadatu’a-tu’aadat melalui garis komando dan koordinasi antara tu’a-tu’a sebagai pihak pengambil keputusan, sekarang hal itu jarang sekali ditemukan karena sudah diganti oleh hukum positif(Bdk. RPJD Kab. Manggarai, 2010: 72).
Tradisi masyarakat Manggarai, ungkapan ata tu’a atau atatu’a laingdalam suatu kampung memiliki kaitannya dengan kedua identitas yang ada pada suatu komunitas kecilyakni mbaru gendang dan lingko.Mbaru gendang(mbaru = rumah, gendang = alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing). Arti budaya istilah mbaru gendang selalu merujuk pada pengertian rumah adat. Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; berbagai peralatan musik tradisional seperti; nggong dan gendang disimpan pada mbaru gendang, tempat diselenggarakannya berbagai upacara-upacara adat (Bdk.Nggoro, 2006:30).
Kedudukan mbaru gendang sebagai salah satu ciri khas dalam sebuah kampung mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keberadaan para tu’a-tu’a adat, baik dilihat darifungsimbaru gendangmaupun peran dari tu’a-tu’a adat itu sendiri.
Keterkaitan antara fungsi mbaru gendang dan peran tu’a-tu’atersebut,diungkapkan melalui; Pertama, mbaru gendang sebagai tempat tinggalnya tu’a-tu’a adat yang merupakan pemimpin umum warga kampung. Kedua, mbaru gendang sebagai tempatdiadakannya rapat penting yang berhubungan dengan kepentingan umum warga kampung dengan peran masing-masing peran tu’a adat yang dilukiskan dalam garis komando dan koordinasi antara tu’a. Ketiga, mbaru gendang sebagai tempat untuk menerima tamu penting dan peran tu’a-tu’a adat dalam menerima tamu tersebut secara adat. Keempat, disimpannya berbagai benda-benda pusaka peninggalan leluhur dan upacara pembersihan barang pusaka oleh tu’a-tu’a adat. Kelima, diselenggarakannya pesta-pesta besar warga kampung seperti; penti,wagal, ta  kaba, cepa dan peran tu’a-tu’a adat sebagai pemimpin dalam menyelenggarakanupacara tersebut (Bdk. Janggur, 2010: 22-23).
Keunikan mbaru gendang sebagai salah satu elemen budaya Manggarai, dapat kita jumpai di setiap kampung. Bagian-bagian yang ada pada mbaru gendang mempunyai fungsi dan makna tersendiri bagi tu’a-tu’a adat dan segenap warga kampung.
Mbaru gendang sebagai salah satu identitas suatu kampung, seringkali tidak dihayati secara mendalam oleh segenap tu’a-tu’a adat dan warga kampung. Para Tu’a-tu’a adat yang sebenarnya menghuni di mbaru gendangnamun jarang sekali ditemukan. Makna peran dari masing-masingtu’a adat tidak dihayati dalam bentuk tanggung jawabnya untuk menghuni dan merawat mbaru gendangserta dapur mbaru gendang yang sudah rusak bahkan terancam punah.
Lingko/uma bat  duat merupakan salah satu tata ruang budaya orang Manggarai. Lingko (kebun yang menyerupai sarang laba-laba) erat kaitannya dengan sistem matapencaharian masyarakat Manggarai. Lingko dan peran tu’a teno menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan suatu kampung. Hal ini dilukiskan dalam beberapa peran tu’a teno yakni: mencatat nama-nama anggota yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat, membagi kebun dan menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan langsung dengan kebun (Nggoro, 2006: 79-81).
Lingko dalam beberapa dekade terakhir seringkali diwarnai oleh berbagai persolan di Manggarai. Persoalan tersebut sudah ada sejak tahun 1935-1993 dengan rentan usia konflik yang cukup lama berkisar antara 30-60 tahun (Bdk. Deno Kamelus, dkk, 2001:3-4).Konflik yang berkepanjangan tersebut akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat.
Peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendangmerupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks pemertahanan mbaru gendang.Peran yang dilakoni oleh masing-masing tu’a adat dalam mbaru gendangmerupakan indikasi yang menggambarkan sejauh mana tu’a-tu’a adat dalam mempertahankan fungsi mbaru gendang.

Jika di kampung halaman seorang anak mengenal berbagai peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendangmaka ia sedangmempelajari tentang budaya Manggarai. Akses pendidikan tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan tu’a-tu’a adat sebagai sumber belajar utama (guru) sedangkan anak memposisikan diri sebagai murid (Bdk. Sutam, 2014:1-3).
Pandangan masyarakat Manggarai tu’a-tu’a adat merupakan symbol pewaris dan anak merupakan penerus ahli waris. Hal ini didasari oleh sebuah pepatah kuno Manggarai (go’ t)yakni “muntung gurung pu’u-manga wungkut nipu curup, wakak b tong asa-manga wak  nipu ta  (ketika para tu’a-tu’a adat sudah meninggal, diharapkan anak/generasi muda yang memiliki tanggung jawab dalam memelihara serta meneruskan kebudayaan).Pendidikan tentang budaya Manggarai dapat diakses melalui menikmati berbagai pengalaman langsung yang dilaksanakan oleh para tu’a-tu’a adat di mbaru gendang maupun di luar kampung.
Bentuk pendidikan budaya tersebut diakses melalui berbagai kesempatan lonto l ok, caca mbolot, sanda, mbata, hambor, penti dan t ing hang. Aktivitas tersebut dapat menunjang generasi muda atau anak dalam menimba pengetahuan dari generasi tua. Segala bentuk tuturan, petuah, nasihat maupun sikap yang dalam berbagai peran yang dijalankan oleh masing-masing tua, secara berlahan-lahan anak/generasi muda memahami putusannya, mengerti filosofinya, mengetahui sejarah keturunan dan posisi masing-masing dalam lingkaran persekutuan secara keseluruhan. Dengan mengetahui posisi masing-masing, menumbuhkan rasa saling mengharagai dalam konteks struktur kekerabatan, terbina keharmonisan vertikal dan horizontal serta terpeliharanya rasa solidaritas sesama warga persekutuan, ada pertobatan silahturahmi dan nilai positif lainnya (Bdk. Deno Kamelus, dkk, 2001:80).
Kendatipun demikian dalam kenyataannya masih banyak lembaga adat di Manggarai yang kurang menyatu dengan perannya. Mbaru gendang yang sebelumnya dihuni oleh tu’a-tu’a adat dan dapat dijadikan sebagai ruang publik warga kampung dalam mengakses pendidikan tentang nilai-nilaibudaya Manggarai kepada anak, hal itu jarang sekali dijumpai.
Dewasa ini, anak atau generasi muda Manggarai sudah mengenal pendidikan tentang budaya Manggarai melalui lembaga formaldengan lahirnya pembelajaran muatan lokal budaya daerah pada jenjang SD dan SMP (Barung,dkk, 2002:vii). Menurut Sutam, (2014:1-3) adapun peran tu’a-tu’a adat sebagai guru atau pewaris budaya dengan fungsi mbaru gendang sebagai sarana belajar dalam proses pewarisan pendidikan tentang budaya Manggarai dapat ditampilkan melalui 1) Teing (memberi), 2) Tatong (menumbuhkan rasa afeksi), 3) Toing (mengajarkan), 4) Titong (membimbing), 5) Tatang (memotivasi).
Lebih jauh Sutam, (2014:4-9) mengungkapkan bahwa prinsip pendidikan yang harus dimiliki oleh anak atau generasi muda dalam Manggarai diantaranya; pertama, tating/toting (rindu akan kebersamaan), kedua, tanang (menampug), ketiga, tingeng (merekam), keempat, tamang (disimpan dengan baik dan teratur), kelima, toming (meniru). Dalam menunjang pendidikan tersebut dibutuhkan keuletan dan partisipasi aktif dari generasi muda dengan cara (melihat), apa yang dilakukan oleh para tua adat, s ng t (mendengarkan), id (meresapi), pand (berbuat/melakukan) sesuai dengan pandangan orang Manggarai.
Kelima konsep yang telah diuraikan menggambarkan adanyakaitan yang erat antara peran tu’a-tu’a adat dan pendidikan tentang budaya Manggarai. Semua warga kampung dapat berkumpul di mbaru gendanguntuk melaksanakan berbagai aktivitas yang selaras dengan maksud dan tujuannya masing-masing.
Seiring dengan bergulirnya waktu, mbaru gendang yang merupakan sebagai salah satu ruang budaya yang paling dekat dengan kehidupan orang Manggarai mengalami perubahan.
Berdasarkan hasil observasi pra penelitian dalam konteks mikro di Kampung Gulung dengan kurun waktu dua tahun terakhir, potret realitas perubahan itu, nampak dengan minimnya kesadaran warga kampung dalam merehabilitasi dapur mbaru gendang yang sudah mulai rusak total serta mbaru gendang yang sudah mulai lapuk dan tidak ada penguhuninya.
Menyadari tu’a-tu’aadat dan mbaru gendang sebagai elemen pentingdalam menunjang generasi muda untuk mengakses pendidikan tentang budaya Manggaraimaka perlu mengetahui sejauh mana peran tu’a-tu’aadat di Kampung Gulung dalam upaya pemertahanan mbaru gendangdan seperti apa implikasi dari perannya tersebut terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
Berdasarkan uraian tersebut maka melakukan penelitian dengan judul “PERAN TUA-TUA ADAT DI KAMPUNG GULUNG DALAM UPAYA PEMERTAHANAN MBARU GENDANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN TENTANG BUDAYA MANGGARAI KEPADA ANAK”.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana peran para tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang di Kampung Gulung dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak?
1.3  Tujuan Penelitian
Atas dasar perumusan masalah maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu menjelaskan peran tua-tua adat di gendang Kampung Gulung dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
1.4  Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1   Manfaat Teoritis
Secara umum tulisan ini akan memberikan sumbangsih kepada seluruh masyarakat Manggarai untuk memahami peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang serta implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
1.4.2   Manfaat Praktis
1.    Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi S-1 pada program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Lembaga Pendidikan STKIP St. Paulus Ruteng.

2.    Bagi Pemerintah
Pemerintah daerah, secara khusus bagi Dinas pendidikan dan kebudayaan. Penelitian ini bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui apakah mbaru gendang yang diakui sebagai salah satu tata ruang budaya Manggarai sudah menjadi pemahaman bersama bagi lembaga adat dan masyarakat Manggarai umumnya dan secara khusus bagi lembaga adat di gendang Kampung Gulung, sehingga kemudian bisa dirumuskan program-program tertentu yang bertujuan untuk memberdayakan lembaga adat tersebut sebagai salah satu sumber belajar utama bagi anak masa kini dan yang akan datang dalam mengenal budayanya sendiri.
3.    Bagi Lembaga Adat
Agar tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan lokal budaya Manggarai, terutama dalam pemertahanan mbaru gendang sebagai bentuk pewarisan pendidikan budaya Manggarai kepada anak.
4.      Bagi Generasi Muda Manggarai
Tulisan ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk melihat serta merefleksi kembali nilai-nilai budaya Manggarai yang harus dihidupkan kembali, secara khusus dalam melibatkan diri dalam memanfaatkan mbaru gendang sebagai perantara dalam membekali diri untuk memperluas pengetahuan tentang budaya Manggarai dengan memanfaatkan lembaga adat sebagai sumber belajar utama.

5.    Bagi Lembaga STKIP St. Paulus Ruteng
    Agar selalu peka dengan situasi sosial yang ada di masyarakat sehingga bisa mengemas sebuah program tertentu melalui KKN maupun kegiatan ekstrakurikuler lainnya, yang bermuara pada pemberian pencerahan bagi lembaga adat serta anak mudadalam menata ruang budaya.
1.5  Definisi Operasional
Ada beberapa defenisi operasional dalam tulisan ini:
1.    Peran tua-tua adat merupakan wacana yang luas yang meliputi multi aspek kehidupan masyarakat di setiap kampung. Oleh karena itu dalam tulisan ini yang menjadi fokus perhatian adalah peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
2.    Pendidikan Anak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah cara yang dilakukan oleh para tua-tua adat agar anak memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai dalam budaya Manggarai. Anak yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah anak yang sedang mengenyam pendidikan di Sekolah dasar di Kampung Gulung.
1.6  Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I memaparkan pendahuluan, terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, defenisi operasional dan sistematika penulisan. Bab II mengguraikan tentang empat (4) point penting yaitu: kebudayaan secara umum, tu’a-tu’a adat, mbaru gendang, pendidikan secara umum dan pendidikan dalam konteks budaya Manggarai. Bab III membahas tentang metode penelitian yang terdiri dari dari jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data. Bab IV memaparkan hasil penelitian dan pembahasan.Bab V berisikan tentang kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Kebudayaan
Dalam bagian ini akan dibahas tentang  pengertian kebudayaan secara etimologis, kebudayaan dalam pengertian luas, unsur-unsur kebudayaan, wujud kebudayaan. Hal tersebut penting karena, mbaru gendang dan tua-tua adat merupakan bagian yang tak pernah dipisahkan dari kebudayaan Manggarai.
2.1.1 Pengertian
Defenisi tentang kebudayaan sangat beragam yang disampaikan oleh para ahli kebudayaan berdasarkan pendasaran dan teorinya masing-masing. Di bawah ini akan dibahas dua bagian tentang pengertian kebudayaan.
2.1.1.1 Secara Etimologis
Menurut Koenjraningrat (1983: 183), kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebutculture, yang berasal dari kata Latin colore yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia yang berarti pemeliharaan dan pembudidayaan. Jadi kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

2.1.1.2 Kebudayaan dalam Pengertian Luas
Di bawah ini beberapa pandangan para ahli berkaitan dengan kebudayaan. Pertama,E. B. Tylor. Tylor mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pegetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.Kedua, R. Liton mengartikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh masyarakat lainnya.Ketiga, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Keempat, Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia (Setiadi dkk, :27-28).Kelima, Koenjraningrat (1983:9) mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar.
Dari beberapa pandangan para ahli tersebut dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta manusia yang diperoleh melalui proses belajar dari lingkungannya sebagai wujudnyata akan keberadaannya sebagai makhluk individu dan sosial di dalam komunitas tertentu.
2.1.2   Unsur-unsur Kebudayaan
Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Hal tersebut disebabkan unsur-unsur kebudayaan itu dapat ditemukan pada kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Ketujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universals tersebut yakni: (1) Bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian (Koenjraningrat, 1983: 206).
Dari ketujuh pokok unsur-unsur kebudayaan yang telah diuraikan memiliki satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dilepaspisahkan dari satu unsur dengan unsur yang lain dalam keberlangsungan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan.
1.    Bahasa
       Bahasa erat kaitannya dengan cara yang digunakan oleh masyarakat dalam membangun relasinya dengan sesama dalam kehidupan sehari-hari. Alat komunikasi tersebut dapat diungkapkan melalui bentuk lisan maupun tulisan (Bdk. Koenjraningrat, 1983: 210).
2.    Sistem Pengetahuan
       Sistem pengetahuan yaang dimiliki oleh masyarakat diwujudnyatakan dalam bentuk ide atau gagasan (Bdk. Koenjaraningrat, 1983:207).
3.    Organisasi Sosial
       Struktur organisasi sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat mencakup sistem kekerabatan, sistem berpacaran, pertunangan, perkawinan dan lain-lain (Bdk koenjaraningrat, 1983: 210).
4.    Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
       Benda-benda budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat pada saat bekerja (Bdk. Koenjaraningrat, 1983: 210).


5.    Sistem Mata Pencaharian Hidup
Untuk mempertahankan hidup suatu masyarakat harus mencari sumber kehidupan yang terdiri dari sistem pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan dan lain-lain (Bdk. Koenjaraningrat, 1983: 210).
6.    Kesenian
       Kesenian selalu bermuara pada sebuah hasil karya. Dalam suatu masyarakat kesenian terdiri dari seni rupa, seni suara, seni gerak, seni sastra, seni drama dan sebagainya (Koenjaraningrat, 1983: 210).
7.    Sistem Religi
       Manusia menyadari bahwa di atasnya masih terdapat kekuatan luhur, kepada-Nya dia merasa bergantung. Ini juga yang mendorong manusia untuk menyembah dan dari sinilah lahir kepercayaan yang kemudian berkembang menjadi agama. Sistem religi dan semua ritus keagamaan merupakan perwujudan atau ungkapan bagaimana manusia mampu mengundang yang Ilahi untuk dapat menjawabi semua kebutuhannya (Kebung 2011: 247).
2.1.2  Wujud Kebudayaan
      Menurut Koenjaraningrat (1983:189-190), kebudayaan memiliki tiga wujud.
Pertama, wujud ideal. Wujud ini sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya berada dalam alam pikiran masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut sebagai adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermuara pada kebudayaan ideal yang memiliki fungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada sikap dan perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, sistem sosial. Wujud ini berkaitan erat dengan tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan satu dengan yang lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.
Ketiga, kebudayaan fisik.Wujud kebudayaan ini berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang bisa dipantau dengan menggunakan pancaindra.
Ketiga wujud kebudayaan yang telah diuraikantersebut dalam kehidupan nyata tak dapat terpisahkan satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dengan masyarakat karena mengatur dan memberi arah pada perbuatan dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.



2.2  Tinjauan tentang Kampung (B o)
Ada dua point penting yang akan dipaparkan dibawah ini diantaranya pengertian kampung dan bagian-bagian dalam kampung.
2.2.1 Pengertian Kampung (B o)
B o atau kerap disebut golo suatu tempat tinggal untuk selama-lamanya. Lokasi tempat tinggal dipilih memiliki sejarah yang unik, selain itu harus melewati beberapa upacara seperti: c c -cocok dan congko lokap (Janggur, 2010:1).
2.2.2 Syarat-syarat Sebuah Kampung(B o)
Pada bagian ini akan dipaparkan tata ruang budaya yang terdiri dari mbaru tembong/gendang, natas, compang, wa  t ku dan lingko/uma duat (Nggoro, 2006: 29-40).
Menurut Sutam (2016:73), menegaskan tempat itu memengaruhi hidup manusia, bukan saja secara fisik tetapi juga secara spiritual; menentukan baik buruk nasib penghuniunya. Karena itu, sebelum masyarakat membangun atau mendiami rumah dan kampung baru, sebelum membuka kebun, membuat compang, membersihkan “wa  t ku” dan memperbaiki/menggali kubur, selain mempersiapkan materi fisik, mereka juga harus mempersiapkan hal-hal non fisik, seperti ritus-ritus atau syarat-syarat tertentu berdasarkan petunjuk tua-tua adat dan dukun (ata mbeko).
Petunjuk yang berikan oleh para tua-tua adat tersebut merupakan syarat dalam berbagai ritus-ritus adat yang dilaksanakan sepanjang tahun dalam lingkaran garis hidup manusia Manggarai. Ritus-ritus itu dilaksanakan bertujuan untuk memuji, bersyukur dan memohon berkah, juga ingin menyucikan tempat-tempat itu dari segala kecemaran, sehingga selalu sehat, makmur dan bahagia serta mendatangkan rahmat yang berlimpah bagi segenap warga kampung. (Bdk.Sutam, 2016:73).
2.2.2.1 Mbaru Gendang/Tembong
Mbaru gendang(mbaru=rumah, gendang= alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing).Dalam pandangan masyarakat Manggarai mbaru tembong/mbaru gendang merupakan salah satu kekayaan budaya Manggarai yang memiliki banyak makna. Arti budaya istilah mbaru tembong adalah rumah adat. Mengapa digunakan mbaru tembong untuk merujukan pada pengertian rumah adat? Karena didalam mbaru gendang inilah sebagai tempat disimpannya alat-alat tradisional. Contohnya gendang dan nggong. Mbaru gendangjuga adalah tempat dilaksanakan acara-acara adat. Fungsi gong (nggong) untuk memanggil warga kampung dalam rangka mengadakan rapat/musyawarah umum warga kampung. Tempat dilaksanakannya adalah dimbaru tembong (Nggoro,2006:30).
Menurut orang Manggaraimbaru bat  ka’ ngada dua jenis yaitu rumah adat (mbaru gendang) dan rumah biasa. Kedua rumah ini memiliki fungsi dan ukurannya sangat berbeda. Dari kedua jenis rumah ini, yang menjadi pusat perhatian masyarakat Manggarai adalah rumah adat (mbaru gendang)daripada rumah biasa, karena mbaru gendang/tembong juga sebagai simbol kesatuan dan persatuan, kekerabatan, persaudaraan dan kebersamaan baik dalam kesatuan warga kampung dengan sesamanya maupun dengan lingkungan terutama hak-hak kepemilikan atas tanah-tanah adat atau lingko (tanah komunal). Mbaru gendang/tembong merupakan symbol sekaligus pusat seluruh kehidupan orang Manggarai.
2.2.2.2 Natas
Natas artinya halamam umum kampung. Luas natas hampir seluas ukuran lapangan sepak bola=100mx100m, tetapi luas natas mempunyai fungsi yakni; agar bisa di pakai warga kampung untuk kema perkawinan (nd i kawing), untuk tempat permainan caci pada saat upacara wagal(upacara masuk minta) atau upacara congko lokap (upacara pembersih kotoran ketika sudah membuat gendang baru), tempat olahraga anak-anak (osang labar data ko ), dan tempat untuk menjemur hasil-hasil panen (Nggoro, 2006:33-34).
2.2.2.3  Compang
Compang merupakan tempat sesajian (altar korban) yang terletak di halaman rumah adat (mbaru gendang). Compang berbentuk bundar menyerupai meja persembahan, terbuat dari tumpukan tanah, dan batu-batu. Di tengah compang tumbuh pohon besar atau (langke) yang sengaja di tanam. Bentuk compang  yang terdapat di kampung menyerupai pohon beringin. Mengapa orang manggarai lebih memilih pohon beringin untuk menanam di compang? Alasan yang lazimnya adalah karena pohon tersebut jarang atau bahkan tidak pernah punah.
Adapun fungsi dari compang bagi masayarakat manggarai umumnya adalah sebagai altar sesajian pada saat upcara-upacara besar, seperti: k las m s  (pesta kenduri untuk seorang tokoh dalam kampung), hang rani (pesta menjelang matangnya tanaman dalam kebun, khususnya padi), atau kalok (pesta adat yang diselenggarakan pada saat kebun sudah mulai memberikan hasil-hasil pertama seperti jagung dan sayur-sayuran), dan penti (pesta syukur setelah panen) (Nggoro, 2006: 34-35).
2.2.2.4       Wa T ku
 Wa  t ku arti harfiahnya air timba. Kata ini menunjukkan kata benda. Beda artinya dengan istilah wa  t ku (timba air).Wa  t ku adalah suatu istilah budaya manggarai yang bertautan dengan tata ruang budaya manggarai. Wa  t ku adalah bagian kebutuhan yang paling vital dalam hidup manusia. Wae teku adalah suatu penegasan makna yang menunjuk pada pengertian bagian tata ruang budaya. Menurut kebiasaan moyang manggarai/orang manggarai sekarang ini bahwa kalau hendak membuka kampung baru (b o w ru), maka harus ada wa  t ku-Nya(Nggoro, 2006: 36).
2.2.2.5  Lingko/ Uma Duat
Uma duat artinya tanah garapan. Sebetulnya bisa di istilahkan saja uma (kebun) untuk menunjukkan kata uma duat itu. Dengan menyebut kata umadapat di pahami bahwa itu maksudnya ialah kebun. Tradisi manggarai sebutan uma duat lebih menegaskan maknanya sebagai kebun yang di garap/diolah. Istilah uma duat menekankan makna kerja bagi orang manggarai. Kerja atau bekerja di kebun adalah bagian dari hidup manusia.
Menurut Nggoro (2006:39) adat orang manggarai apabila ada salah seorang warga kampung/masyarakatnya tidak mendapat sebidang tanah dari lingko, maka warga tersebut di beri sanksi yaitu; tidak izin untuk tinggal di kampung (b o) tersebut. Karena itu, cara untuk menggarap tanah itu, melalui musyawarah sekelompok masyarakat yaitu dengan cara tente teno. Tanah ulayat itu wajib dimiliki setiap anggota yang ada dalam suatu masyarakat atau kampung yang telah berkeluarga/ dewasa. Mengapa tanah ulayat di haruskan ada lingko utamanya harus ada dalam suatu kampung dan lingko utama harus bertautan dengan sejarah pada waktu membuka kampung baru (hes  b o w ru). Ini penting karena lingko harus di beri nama yang ada hubungannya dengan nama kampung itu.
2.2.2.6  Boa
Boa artinya kubur, kuburan, makam. Boa ialah tempat pemakaman, leluhur, keluarga, sanak saudara yang telah meniggal dunia. Yang cukup menarik disini adalah bila ada yang meninggal dunia dari salah seorang anggota keluarga, maka di makamkan di dekat kuburan sanak saudara atau leluhur sesuai garis keturunan terdekat. Biasanya bila orang manggarai mengadakan upacara penti (syukuran), penti beo (syukuran kampung), penti kilo (syukuran keluarga), penti ongko gejur (syukuran memungut panen), penti neteng ntaung (syukuran tahunan) dan lain-lain maka warga mengadakan bersih kubur mengadakan upacara torok tae one boa (Nggoro, 2006:40-41).
Adapun tujuan melakukan hal ini yaitu: sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur/roh nenek moyang yang berjasa dalam membentuk dan membuka kampung atau kebun baru selama ia hidup. Maka setiap mengadakan upacara-upacara besar wajib mengadakan torok ta  di tempat kuburan.
Untuk menunjukkan kesatuan warga kampung muncul ungkapan, “ca mbaru bat  ka’ ng, ca b  bat  elor, ca uma bat duat”(satu rumah tempat tinggal, satu kampung, satu kebun tempat kerja). Kelima tempat ini disebut sebagai “kuni agu kalo” (tanah tumpah darah) (Sutam, 2016:73).
2.3  Tinjauan Tentang Tua-tua Adat
Dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai terdapat tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur budaya tersebut yakni organisasi sosial. Organisasi sosial dapat dikaitkan dengan keberadaantu’a-tu’a adat yang ada di setiap kampung yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno dan tu’a panga. Struktur organiasi lokal tersebut diwariskan secara turun temurun.
Keberadaan organisasi sosial tersebut memiliki peran penting dalam kehidupan suatu kampung antara lain; sebagai pemimpin sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing (Bdk. Koenjraningrat, 1983:210).
Dalam bagian ini ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan yaitu: arti tu’a, arti adat, struktur lembaga adat, kriteria tu’a-tu’a adat, tugas dan wewenang tu’a-tu’a adat.
2.3.1        Arti Tu’a
Kata tu’a dalam kehidupan sehari-hari identik dengan usia seseorang berdasarkan tingkatannya. Sedangkan dalam konteks tertentu kata tu’a diartikan sebagai kepala, ketua, orang  yang memiliki jabatan tertentu dalam kehidupan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat, serta memiliki pengalaman yang luas, serta keberadaannya memberikan kontribusi terhadap kehidupan suatu masyarakat baik melalui sikap, tutur kata maupun tindakannya yang lebih bermuara pada nasihat, teguran, maupun bimbingan. Kata tu’amemiliki kesamaan arti dengan kata tua dalam bahasa Indonesia.
2.3.2 Arti Adat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009: 8), adat diartikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut dilakukan sejak dahulu kala. Adat tersebut berhubungan dengan cara, kelakuan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Adat dalam bahasa Manggarai di artikan sebagai adak/ruku.Adakberhubungan erat dengan budi bahasa yang diungkapkan melalui tegur, sapa, serta kebiasaan yang bersifat resmi melalui upacara adat. (Bdk.Verheijen, dalam Kamus I Indonesia-Manggarai, 1967:2).
Adat pada hakikatnya merupakan aktivitas yang melekat dalam kehidupan individu maupun kelompok sosial di dalam masyarakat, karena manusia sebagai pelaku serta obyek atas adat. Adat tersebut mencerminkan identitas seseorang maupun kelompok yang di wujudnyatakan dalam bentuk kebiasan, sikap, perilaku sekaligus dalam arti tertentu ia adalah pedoman yang mengarahkan kehidupan manusia.
2.3.3  Struktur Lembaga Adat
Dalam bagian ini dipaparkan struktur tua-tua adat yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno, tu’a panga,  arti tua tu’a golo, kriteria tu’a golo, tugas dan wewenang tu’a golo, arti tu’a teno, kriteria tu’a teno, tugas dan wewenang tu’a teno, arti tu’a panga, kriteria tu’a panga dan tugas dan wewenang tu’a panga.

2.3.3.1Tu’a Golo
2.3.3.1.1 Arti Tu’a Golo
Menurut Verheijen (1967:145), tu’a b /goloterdiri dari dua kata yakni tu’a dan golo;tu’a = ketua, orang yang sudah berusia tua; golo = bukit, puncak, pedalaman, pegunungan). Tu’a b / golo artinya kepala kampung.
1.3.3.1.2 Kriteria Tu’a Golo
Menurut Janggur (2010:12), seorang tu’a golo/tu’a b /tu’a gendangdipilih dari yang tertua berdasarkan keturunan asli dari kampung itu (wa  tu’a/wa  ngaso).Lebih jauh Nggoro (2006:78-79), menegaskan bahwa untuk menjabat sebagai tu’a golo harus memenuhi hal berikut ini: sudah mencapai usia dewasa, sudah menikah, orang asli warga kampung, sehat jasmani dan rohani, memahami adat Manggarai, mampu memimpin dan tinggal di rumah adat.
Sementara itu tokoh lain seperti Janggur (2010:14), menambahkan untuk menjaditu’a golodipilih oleh suku/wa’u harus berkewibawaan, bijaksana dan sabar, memiliki ekonomi rumah tangga yang cukup, bersikap adil, patut diteladani oleh seluruh warga kampung serta mampu memberikan semangat kepada seluruh warga kampung.
Proses pemilihan kepala kampung harus berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung, dan juga bisa dipilih secara aklamasi, atau dengan musyawarah melalui koordinasi antara tua-tua keluarga ranting. Semuanya dikondisikan, karena lebih mengutamakan rasa kekeluargaan dan persaudaraan.


2.3.3.1.3 Tugas dan Wewenang Tu’a Golo
Dalam kehidupan di sebuah b o (kampung) seorang tu’a golo memiliki tugas dan wewenang dalam menata kehidupan warga kampungnya. Adapun tugas dan wewenang tu’a golo yakni : pertama, memimpin rapat yang berkepentingan umum warga kampung serta bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara. Kedua, mengatur kehidupan warga kampung dan memiliki hak menjatuhkan sanksi ketika terjadi perkelahian diantara warga. Dalam memberikan sanksi atau hukuman seorang tu’a golo harus mampu menjatuhkan sanksi berdasarkan tingkat kesalahan yang dibuat oleh warga kampungnya (Bdk. Janggur, 2010: 12).
Sementara itu,Deno Kamelus, dkk (2001:57) menambahkan  kewenangan tu’a gendang/tu’a b antara lain: menyelesaikan sengketa di kalangan anggota gendang/b , yang belum dapat diselesaikan tu’a kilo dan tu’a panga; mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan harta benda bersama, termasuk tanah termasuk segala yang terkandung di dalamnya, serta harta benda panga yang bersifat magis religius; menyelesaikan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenan dengan harta benda bersama, seperti jual beli, tukar menukar, perkawinan anggota panga; mewakili gendang dalam hubungan dengan pihak luar; menyelenggarakan musyawarah di kalangan tu’a-tu’akilo dan tu’a-tu’apanga untuk membicarakan dan memutuskan berbagai hal menyangkut kepentingan anggota gendang.



2.3.3.2Tu’a Teno
2.3.3.2.1 Arti Tu’a Teno
Menurut Verheijen (1967: 658) tu’a teno adalah pemimpinatau pengurus dalam membagi lingko-lingko yang menjadi hak milik anggota masyarakat dalam satu kampung.Kata tu’a teno terdiri dari dua kata yakni tu’a dan teno. (tu’a = ketua, kepala; teno = kayu teno).
Menurut pandangan masyarakat Manggarai, haju teno sebagai simbol keberadaan seorang tu’a teno. Bentuk haju teno yang kurang bercabang, daunnya ketika gugur akan menyuburkan tanah, batang kayunya yang lembut identik dengan kepribadian seorang tu’a teno yang jujur, dapat dipercaya, tidak otoriter  dan memiliki kesabaran (Bdk. Nggoro, 2006:79).
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya seorang tu’a teno harus mampu mengaplikasikan filosofi haju teno, sehingga ia tetap dipercaya oleh masyarakat dan keberadaannya mampu melindungi segenap warga kampung.
2.3.3.2.2  Kriteria Tu’a Teno
Menjadi seorang pemimpin dalam suatu kampung bukanlah hal muda. Tu’a teno sebagai salah satu pemimpin dalam sebuah kampung, tentunya bukan kehendak pribadi, melainkan atas dasar kepercayaan sekelompok masyarakat yang turut mengambil bagian dalam memperoleh tanah pada tanah ulayat.
        Sebagai seorang tua dalam berurusan pembagian tanah, ia harus memahami hukum adat tentang tanah. Tu’a teno dipilih dari keturunan bangsawan yang mewakili tuan tanah, sehingga ia mengetahui dengan pasti status keabsahan tanah, sejarah tanah tersebut.Integritas, berjiwa pemimpin,arif dan bijaksana adalah sebagian syarat untuk menjadi seorang tu’a teno. Sikap sabar dalam menghadapi persoalan tanah bukan menjadi hal mudah, karena berhubungan dengan harta benda. Kepekaan dalam dalam berbagai situasi yang berkaitan dengan tanah adalah bagian yang harus melekat di dalam diri seorang tu’a teno (Bdk. Nggoro, 2006:80).
2.3.3.2.3Tugas dan Wewenang Tu’a Teno
Tu’a teno berurusan dengan pelaksanaan teknis dalam pembukaan kebun (lingko). Dalam menjalankan tugasnya harus mendapat restu dari tu’a tembong. Jika direstui oleh tu’a tembong ia memerintahkan seseorang untuk memukul gong dalam rangka bermusyawarah terkait dengan penentuan tempat pembukaan kebun (lingko yang ingin dibagi) (Bdk.Bagul, 1996:30).
Ketika seorang tu’a teno tak mampu menjalankan tugas dan wewenangnya, jabatan tersebut dialihakan kepada keturunan adik. Seorang tu’a teno berhak mendapatkan sebidang ladang yang berbentuk segi tiga (Bdk.Janggur, 2010:12). Menurut Nggoro (2006:81), tu’a teno memiliki tugas yakni: untuk mencatat nama-nama peserta yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat, memiliki wewenang untuk menanam kayu teno dan satu butir telur ayam kampung untuk ditanam pada bagian sentral tanah ulayat, tu’a teno mendapatkan pembagian pertama daripada anggota lain.Dalam proses pembagian tanah ulayat, harus menjunjungtinggi asas demokrasi, transparansi bersama anggota dan berjalan dengan penuh damai.Bentuk sanksi yang diberikan oleh tu’a teno kepada pemilik kebun disebabkan oleh lalai dalam membuat pagar kebun, sehingga hewan peliharaaan bisa masuk dan  membuat rusak tanaman milik warga. Dalam memberikan sanksi disesuaikan dengan tingkat usia tanaman yang rusak. Hukuman atau denda yang diberikan kepada pemilik ladang tetapi tidak menggarapnya, tu’a teno berhak untuk menarik kembali dan memberikannya kepada orang lain yang belum mendapatkan bagian dari lingko tersebut., dalam hal yang bersangkutan adalah  penduduk kampung tersebut.Berkaitan dengan masalah batas ladang tu’a teno memiliki keahlian dalam menyelesaikannya (Bdk.Janggur,2010:18).
2.3.3.3Tu’a Panga
2.3.3.3.1ArtiTu’a Panga
Menurut Verheijen (1967: 478), tu’a panga berasal dari dua kata yaitutu’a dan panga.Tu’a diartikan sebagai ketua, pengurus, berusia tua; sedangkan panga=cabang keluarga/famili.
 Dalam suatu komunitas terkecil (b o/golo lonto)terdiri dari beberapa pecahan keluarga ranting dari satu leluhur. Pecahan-pecahan keluarga itu membentuk keluarga panga. Jadi tu’a panga merupakan kepala keluarga pada tingkatan ranting (Bdk. Nggoro, 2006:77).
2.3.3.3.2Kriteria Tu’a Panga
 Menjadi pemimpin bagi anggota keluarga tentunya bisa memimpin, memahami budaya, bisa berbicara, menerapkan adat-istiadat dengan tepat, arif, bijaksana dan sudah menikah. Masa jabatan seorang tu’a panga tak menentu tergantung situasi dan kondisi (Bdk. Nggoro,2006:77).

2.3.3.3.3Tugas dan Wewenang Tu’aPanga
Menurut Janggur (2010:16-17), tu’a panga berfungsi mewakili panga/wa’u-nya dalam segala urusan atau masalah hidup bermasyarakat. Ia juga bertindak sebagai hakim yang mengadili bila ada masalah intrn sukunya. Ia juga berfungsi menetralisir segala permasalahan keluarga dalam sukunya.
Senada dengan itu, hasil penelitian Deno Kamelus, dkk (2001:57), menunjukkan bahwa kewenangan tu’a panga/tu’a batu dapat dilihat dalam hal berikut. (1) Menyelesaikan sengketa dikalangan anggota panga, yang belum dapat diselesaikan oleh tu’a kilo.(2) Menyalurkan aspirasi/kepentingan anggota panga ke tingkat yang lebih atas, yaitu tu’a gendang.(3) Menyemapaikan perintah-perintah dari tu’a gendang kepada anggota panga-nya untuk dilaksanakan. (4) Mengatur hubungan hukum antara anggota pangadengan harta benda bersama, termasuk tanah dan segala yang terkandung di dalamnya, serta benda panga yang bersifat magis religius. (5) Menyaksikan hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenan dengan harta benda bersama, seperti jual beli, tukar menukar, perkawinan anggota panga.
Dalam memberikan sanksi atau hukuman yang dijatuhkan kepada anggota sukunya/sub kl n-nya). Menurut Janggur, (2010:19)tu’a panga dapat menjatuhkan denda kepada sang suami bila ada suami memukul istrinya sampai babak-belur (ongga uncang winan), sanksinya berupa “wunis agu tahang” (mengobati luka-luka pada istrinya dengan uang dan ayam atau kambing dan tuak). Selain itu biasanya tu’a panga dan tu’a kilo bekerjasama dalam mengadakan (adak hambor wina-rona) yang berantem itu (mengadakan upacara perdamaian bagi suami dan istri agar percecokkan itu segera berakhir dan mulai hidup baru dengan damai dan sejahtera). Memberikan denda kepada anggota sukunya yang kedapatan mencuri (denda ata tako) seperti mencuri buah-buahan atau rebung (bok betong ko bok pering), mencuri jagung muda, dsb. Denda kepada pemuda atau pemudi yang sengaja melihat orang yang sedang mandi (denda ata loma-l lo).
Berkaitan dengan menjaga tata ruang budaya yaitu mbaru gendangtu’a panga tinggal di usungmbaru tembong (kamar rumah adat). Dasar pertimbangannya bahwa tu’a panga yang tinggal di rumah adat, dapat memudahkan koordinasi antara keluarga tingkat ranting dalam berbagai musyawarah adat dan yang berurusan dengan kepentingan keluarga ranting (Bdk. Nggoro, 2006: 77).
2.4  Tinjaun Tentang Mbaru Gendang

Salah satu karya masyarakat Manggarai yaitu mbaru gendang. Mbaru gendang merupakan wujud dari dari kedua unsur kebudayaan yaitu: teknologi dan organisasi sosial. Berbagaibentuk benda peninggalan masa lampau diyakni sebagai kekhasan dari sebuah kebudayaan. Mbaru gendang merupakan salah satu identitas sebuah kampung. Mbaru gendang memiliki fungsi yang sengat penting dalam segala aktivitas warga kampung (Bdk. Koenjraningrat, 1983:2010).
Keberadaan mbaru gendang memiliki hubungan yang erat dengan sistem organisasi sosial yang terdiri dari tu’a-tu’a adat. Tu’a-tu’a adat memiliki peran penting dalam pemertahanan mbaru gendang. Mbaru gendang dan tu’a-tu’a adat merupakan satu kesatuan yang utuh dalam sejarah terbentuknya sebuah kampung.Mbaru gendang memiliki fungsi sebagai tempat tinggalnya para tu’a-tu’a adat, tempat diadakannya berbagai macam kepentingan warga kampung. Berbagai kepentingan warga kampung tersebut, tu’a-tu’a adat diyakini sebagai pemimpin umum warga kampung sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing.
Ada beberapa point penting yang diuraikan di bawah ini diantaranya:arti mbaru gendang, fungsi mbaru gendang, bagian-bagian pada mbaru gendang.
2.4.1        ArtiMbaru Gendang
Menurut Verheijen (1967: 244), mbaru tembong/gendang berasal kata mbaru yang berarti rumah, gedung yang berukuran besar. Arti kata mbaru tembong/gendang ialah rumah adat yang memiliki atap menyerupai niang. Arti budaya istilah mbaru tembong ialah rumah tempat diadakannya pertemuan,tempat pelaksanaan upacara adat serta tempat untuk menyimpan gendang
2.4.2        Fungsi Mbaru Gendang
Menurut Janggur (2010:23-240), mbaru gendang/mbaru tembong sebagai rumah adat dalam kampung mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dari semua rumah yang ada: Di dalam rumah gendang ini sebagai tempat tinggalnya tu’a golo atau tu’a gendang. Selain itu, ada pula utusan dari tiap-tiap panga (sub klan) untuk tinggal dalam rumah adat atau yang dikenal dengan tu’a panga . Banyaknya tu’a panga yang tinggal bersama tu’a golo atau tu’a gendang di dalam rumah adat ini tergantung dari jumlah sub klen yang ada di dalam desa itu.
Di dalam rumah gendang itu dapat dijadikan tempat menyimpan harta benda warisan para leluhur yang disebut harta pusaka atau dalam bahasa daerahnya “c ca mbat ”. Diantara semua “c ca mbat ” berupa warisan gendang, gong dan tambur yang mempunyai arti tersendiri dalam hal kepemilikan tanah-tanah lingko yang dikuasi oleh suku yang mendiami kampung tersebut.Tempat menerima tamu-tamu penting, seperti menerima Bupati Manggarai dan semua unsur pimpinan daerah, menerima pembesar agama seperti menerima Bapak uskup.Mbaru gendang berfungsi pula sebagai tempat dilaksanakan pertemuan-pertemuan penting, baik yang berhubungan dengan kedatangan tamu-tamu agung maupun pertemuan-pertemuan khusus yang hadirnya hanya warga desa itu sendiri yang dipimpin oleh tu’a golo atau tu’a panga/tu’a teno. Di dalam “luturmbaru gendang mereka bermusyawarah untuk mufakat.
Dari sekian banyak pertemuan itu dapat disebutkan beberapa contoh berikut ini: pertemuan untuk menyelenggarakan pesta-pesta adat seperti penti (pesta syukur atas hasil panen), pesta wagal atau nempung yaitu pesta perkawinan adat yang paling meriah.Pertemuan untuk menyelesaikan segala masalah yang ada di dalam desa, pertemuan untuk membagi kebun baru (lodok lingko).Luturmbaru gendang (ruangan yang luas dari rumah gendang) dapat difungsikan pula sebagai tempat untuk membaringkan jenazah (loling rapu) terutama jenazah dari pada tokoh adat yang tinggal didalam rumah gendang itu atau jenazah dari tokoh adat yang tinggal di rumah lain tetapi karena peraturan adatnya harus dibaringkan di dalam “lutur mbaru gendang” maka harus ditaati. Sebagai tempat dilaksanakan di upacara penti, upacara c pa,upacara k las/paka di’a (pesta kenduri), upacara perdamaian (hambor).

2.4.3        Bagian-bagian dalam Mbaru Gendang
Menurut Janggur (2010:26-30), ada tiga simbol utama  menurut adat Manggarai dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: (1) Kolong rumah (ngaung), (2) Tempat manusia tinggal (bagian tengah dari rumah), (3) Atap.
1.    Kolong rumah (ngaung)
   Ngaung ini merupakan simbol dari dunia bawah. Dunia yang penuh kegelapan, dunia orang mati. Masyarakat Manggarai percaya bahwa, setan atau roh-roh halus yang hendak mengganggu kesejahteraan manusia bersumber dari dunia bawah.
2.    Tempat manusia tinggal (bagian tengah dari rumah)
Pada bagian tengah dari rumah melambangkan dunia yang terang. Dimana dalam keseharian masyarakat Manggarai bereaksi untuk memberikan arti bagi kehidupannya di dunia ini.
Pada bagian tengah mbaru gendang dijumpai beberapa hal penting berikut:
a.        Lutur (ruangan)
Tempat diladakannya segala aktivitas manusia seperti untuk melaksanakan semua upacara adat, tempat bermusyawarah bagi segala kepentingan warga desa, tempat dibaringkan jenasah bila ada yang meninggal, tempat menerima tamu-tamu penting yang hendak mengunjunggi desa.


b.    Siri Bongkok (tiang agung rumah adat)
       Padasiri bongkokdigantungkankannya gendang/tembong, tambur dan gong. Dengan digantungkannya alat-alat musik tradisional ini maka rumah ini disebut mbarugendang/mbaru tembong. Hal ini menunjukkan mbaru gendang sebagai simbol atas hak seluruh lingko yang dikuasi untuk digarap sebagai milik suku yang menghuni kampung tersebut. Dalam peristiwa penting warga kampung, seorang tu’a goloduduk dan bersandar  pada siri bongkok.
       Dalam proses pembuatan mbaru gendang, siri bongkok diupacarai secara khusus dan istimewa yang dikenal dengan “roko molas poco” (membawa lari gadis dari hutan).
c.    Lo’ang ( kamar tidur)
Jumlah lo’ang/usung (kamar tidur) yang ada pada mbaru gendang disesuaikan dengan jumlah sub-klan (panga) yang ada dalam sejarah terbentuknya sebuah kampung.
d.        Sapo (tungku api)
Pada zaman dahulu ketika belum bisa membuat dapur, maka sebagian kecil dari rumah adat ini digunakan sebagai dapur (sapo). Sekarang semua rumah gendang ada dapurnya.




e.    Para (pintu)
         Tempat keluar masuknya manusia dan dipakai juga sebagai tempat dibunuhnya hewan kurban dalam upacara adat seperti membunuh babi atau ayam.
3.    Atap (wuwung)
       Atap rumah adat Manggarai yang disebut sebagaimbaru gendang itu, berbentuk kerucut (niang). Karena itu seringkali orang menyebutnya mbaru niang, artinya rumah yang berbentuk kerucut. Bentuk kerucut atau (niang) mempunyai arti simbolis seperti terlihat pada puncak rumah adat. Adapun simbol yang ada pada puncak kerucut itu yakni:
1)      Lukisan wajah manusia yang dibuat dari kayu
Lukisan wajah manusia menggambarkan manusia Manggarai yang selalu tertuju ke atas (kepada penciptanya) kepada Tuhan yang kerap disebut sebagai “Mori keraeng”. Manusia menyakini bahwa, iaadalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi/puncak dari semua ciptaan lain.
2)      Lukisan tanduk kerbau
     Lukisan tanduk kerbau terbuat dari kayu, atau tanduk kerbau yang langsung ditempelkan pada lukisan wajah manusia itu. Lukisan itu, ingin menggambarkan kehidupan orang Manggarai yang memiliki daya juang yang tinggi serta harus kuat seperti kerbau.


3)      Lukisan berbentuk kepala gasing (mangka)
Lukisan berbentuk kepal gasing (mangka) berada pada bagian atas lukisan wajah manusia. Mangka memiliki arti yang menunjukkan relasi manusia dengan Tuhan. Lukisan gasing itu juga menandakan hak ulayat atas tanah-tanah yang dikuasi oleh penghuni kampung, sehingga di pusat lingko (lodok) kayu teno yang ditanamkan pada saat pembagian tanah (lodok lingko) dibuat seperti lukisan kepala gasing. Hal ini merupakan wujudnyata dari ungkapan (go’ t) yang dikenal dengan “gendang on  lingkon p ’ang”. Gendang yang digantungkan pada bagian siri bongkok di mbaru gendang memiliki hubungan yang erat dengan simbol teno yang dipancangkan di pusat kebun ketika “lodok lingko” (membagi kebun).
Pada bagian dalam dari niang, tepatnya diatas lutur(ruangan) dan lo’ang(kamar/usung) kita temukan dua bagian penting yaitu:
a.    L ba atau lobo
L ba atau lobo adalah tempat menyimpan segala hasil bumi seperti :padi, jagung,dll.
b.    L mpa-ra  (ruangan kecil pada puncak niang)
L mpa ra adalah tempat khusus untuk mempersembahkan sesajian kepada Tuhan dan para leluhur. Selain itu ada pula yang memanfaatkan l mpa ra  itu untuk menyimpan barang-barang pusaka, warisan para leluhur yang dapat diperlihatkan kepada anak cucu pada upacara adat untuk menghormati harta warisan itu. Harta warisan para leluhur itu berupa emas, perak, perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas dan perak atau tembaga, kiris (keris), pisau, pakaian-pakian adat yang mengambarkan kebesaran zaman lampau dll.
Harta pusaka itu disimpan dalam satu tempat khusus agar terhindar dari ngengat (pakot) dan karat. Harta warisan para leluhur itu masih diyakini sebagai harta milik pribadi dari salah seorang anggota suku, walupun ia yang bertugas menjaga dan memeliharanya. Karena harta warisan itu sebut saja harta pusaka (c ca mbat ).
Puncak kerucut mbaru gendang dengan simbol-simbol yang terdapat diatasnya diatasnya dililit dengan tali ijuk atau rotan. Lilitan ijuk atau rotan itu simbol dari ikatan persatuan dan kesatuan dalam kampung itu. Suku-suku (wa’u) atau panga (sub klen) yang ada dalam kampung itu sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
4)      Periuk Persembahan
Pada bagian atap mbaru gendang terdapat periuk persembahan. Periuk persembahan ini sebagai simbol kayakinan dan penghormatan kepada Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya, dalam bahasa daerah hal ini di ungkapkan “Mori jari agu d d k, tanan wa awangn ta, par’n awo kolep’n sale, ulun l  wai’n lau”.
5)      Rangga Mbe (Tanduk kambing)
 Berbagai peralatan musik seperti nggong, gendang dantambur digantungkan pada tanduk kambing tersebut. Tanduk ini sebagai simbol tanggung jawab. Gong dan gendang memiliki fungsi yang sangat berarti. Gong lazimnya, sebagai media pengganti surat atau lonceng yang memberi tanda diadakannya pertemuan di mbaru gendang. Gong dan gendang juga sering dimanfaatkan sebagai musik yang menggiringi para pemain caci, mbata maupun sanda dalam berbagai kesempatan upacara penting warga kampung.
2.5  Tinjaun tentang Pendidikan Anak
Pendidikan anak dapat dikaitakan dengan tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan yang memiliki kaitan dengan pendidikan yaitu sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan dalam setiap kebudayaan diwujudnyatakan dalam bentuk yang berbeda sesuai dengan keadaan alam dan lingkungannya. Sistem pengetahuan itu dapat diwujudnyatakan dalam bentuk ide atau gagasan (Bdk. Koenjraningrat, 1983: 2007).
Dalam bagian ini akan dibahas beberapa hal penting yaitu:pengertian pendidikan secara etimologis, pengertian pendidikan secara luas dan pendidikan menurut para ahli.
2.5.1        Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitupaedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan dikenal dengan education, yaitu berasal dari kata to educate yang berarti mengasuh atau mendidik. Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen da akhiran-an, yang berarti hal atau cara mendidik (Bdk. Mahmud, dkk,  2015: 18).
Beberapa pengertian pendidikan yang kemukakan oleh beberapa ahli.        Pertama, Ki Hajar Dewantara mejelaskan bahwa “pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Pendidikan Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar sebagai anggota masyarakat mereka bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Kedua, H. Horne, pendidikan adalah “proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional, dan kemanusiaan dari manusia.Ketiga,John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaruan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkmbangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup (Bdk. Mahmud, dkk 2015: 19).
Menurut Langgulung (dalam Mahmud, 2015:19-20) pendidikan adalah proses pemindahan nilai pada suatu masyarakat kepada setiap individu yang ada di dalamnya dan proses pemindahan nilai pada suatu masyarakat kepada individu yang ada di dalamnya dan proses pemindahan nilai-nilai budaya melalui pengajaran.Pendidikan sama dengan hidup adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang, dan pendidikan adalah pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidup. Dalam arti luas, pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pertama, pendidikan berlangsung dalam konteks individu yang bersifat multidimensi, baik dalam hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam maupun dengan dirinya sendiri.
Kedua, dalam hubungan yang bersifat multidimensi itu, pendidikan berlangsung melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan dan kejadian, baik yang pada awalnya disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.
Ketiga, pendidikan berlangsung untuk semua orang, semua ras dan etnis, semua umur, serta semua masyarakat dengan beragam status sosialnya.
Keempat, pendidikan tidak terbatas pada sekolah saja. Pendidikan dapat berlangsung di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan alam.
2.5.2Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya
Menurut Mahmud, dkk (2015:20-21), pendidikan sebagai proses transformasi budaya, diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggungjawab dan lain sebagainya.
2.6  Anak dalam Budaya Manggarai
Anak dalam keluarga masyarakat Manggarai merupakan karunia Tuhan bagi keluarga yang paling tinggi. Karena itu suami dan istri bertanggungjawab dalam pendidikan dan membesarkannya (Bdk. Janggur, 2008: 123).
2.6.1        Bentuk Pendidikan Anakdalam Budaya Manggarai
Bentuk pendidikan yang konkrit dalam keluarga adalah nasihat, teguran, dan bimbingan. Nasihat, teguran, bimbingan itu boleh langsung dalam bentuk ceritra-ceritra (turuk/nunduk). Dalam tombo turuk atau nunduk itu diwariskan nasihat, teguran halus, nilai-nilai hidup, nilai kebijaksanaan, ketekunan, keuletan, keberanian dan sebagainya (Bdk. Janggur, 2010: 65).
Menurut Janggur (2010: 65-67) cara mendidik anak-anak juga dapat ditampilkan dalam bentuk seloka (go’et-go’et).
Pertama,agar anak bersikap sopan dalam berkata-kata: “n ka took-takak n ho lema de nggalang”, atau “n ka be wa data b ta dit ’’ , m  io atat it -ngong io weki rud. Kedua, Tentang nilai keadilan dapat diungkapkan n ka daku ngong data- m  data-data muing.Ketiga,keterampilan dibedakan untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan diajarkan keterampilan menenun, menganyam dan memasak. Sedangkan untuk anak laki-laki diajarkan keterampilan menempah besi untuk membuat parang, pisau, tombak dll. Ungkapan yang sering dikaitkan dengan pendidikan keterampilanadalah:” pand  bako kop potangmanuk, pand kaba, pant tuak, kokor gola, pand  langkok, pand pand .
Keempat, pendidikan religius biasanya dilaksanakan dengan melibatkan secara langsung anak-anak atau orang muda pria dan wanita dalam upacara-upacara religius adat,mulai dari upacara-upacara dalam menari (sa menyanyi (sanda),bahkan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin upacara.
Kelima, relasi sosial juga ada bentuk pendidikan yang khas dan khusus. Misalnya, agar anak-anak mengetahui jalinan hubungan antara dan di dalam keluarga maka bapak dan ibu sesekali mengajak anak-anak untuk mengunjungi relasinya (entah anak rona atau anak wina) atau dengan family yang lain (wa’u). Kunjung mengunjung (anak wina terhadap anak rona atau sebaliknya) ini (lambu anak rona-lambu anak wina atau lambu wa’u)biasanya orang tua menjelaskan berbagai tingkatan hubungan keluarga. Dengan demikian anak-anak sejak kecil sudah tahu hubungan kekerabatnnya, yang menimbulkan rasa persatuan, persaudaraan, kerukunan. Kunjung mengunjung (lambu) yang semakin sering, dengan sendirinya semakin mendalam pengetahuan anak-anak tentang relasi sosial kekeluargaan mereka saat itu dan nanti.
Pada masyarakat tradisional Manggarai, dalam bidang didik mendidik berlaku semacam hukum adat yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, demi menjalin keamanan dan ketertiban, kesejahteraan, dan perdamian antara keluarga seperti:
1.         Anak laki-laki dilarang menodai anak gadis orang (n ka ngo
2.         Dilarang menodai istri orang (n
3.         Dilarangmerebut/melarikan anak gadis orang (n
4.         Dilarang mengawini wanita yang sebenarnya masih dalam hubungan keluargakl )
5.         Dilarang berbuat inces (n ka jurak)
Pelanggaran terhadap larangan-larangan tersebut akan menimbulkan permusuhan, perpecahan, perkelahian bahkan mendatangkan kutukan dari Yang Maha Kuasa, kalau memang larangan itu dilanggar dan tidak menimbulkan akibat buruk maka perlu diadakan upacara-upacara pemulihan, menolak balabencana. Upacara pemulihan atau menolak bala yang dikarenakan pelanggaran larangan/hokum adat antara lain: pana mata leso, k pu munak, c bong l  anak rona, podo jurak.
2.6.2        Go’etSebagai Sarana Pendidikan Anak
Menurut Janggur (2008:103) go’ t adalah “ungkapan tutur bahasa seni dan indah dalam setiap upacara adat yang diungkapkan seperti pantun atau prosa liris dengan rumusan persamaan bunyi vokal dan sampiran”. Go’ tmerupakan ekspresi dari sebuah kehidupan yang memiliki ajaran-ajaran nilai luhur dan pada ghalibnya merupakan orientasi dari setiap manusia yang sadar akan martabat kepada kebaikan.
1.    Penggolongan go’ t
a.    Go’ t dalam hubungan dengan sesama dalam keluarga (as -ka’ )
b.    Go’ t dalam kebersamaan dalam kampung (golo lonto, ka’ ng b o)
c.    Go’ t dalam relasi dengan orang lain (cama tau, ata bana)
d.   Go’ t-go’et dalam relasi dengan penguasa (ata tu’a laing)
e.    Go’ t dalam relasi dengan empo (leluhur, nenek moyang)
f.     Go’ t-go’ t dalam relasi dengan Tuhan/Wujud tertinggi (Mori agu Ngaran)
2.    Nilai persatuan dan kesatuan yang diungkapkan melaui go’ t sebagai nasihat (pendidikan) maupun motivasi terhadap orang Manggarai:Usaha persatuan dalam hidup bersama, ungkapan go’ t-nya yaitu:
a)    N ka bik  ca lid , n ka behas ca cewak.
Arti kata yaitu n ka:jangan. Bikē:pecah. Lidē: wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Ca: satu. Behas: terlepas dari ikatan. Cewak: labu air yang kulitnya bila kering menjadi keras dan dapat dipakai sebagai wadah pengganti piring.
Pengertian kata menurut ungkapan yaitu n ka bikÄ“ ca lidÄ“ artinya jangan pecah satu wadah. N ka behas ca cewak artinya jangan terlepas satu ikatan labu air tempat makan. Ungkapan ini merupakan ekspresi dari harapan kiranya hidup manusia dalam masyarakat tetap satu, utuh, kompak dan rukun.Isi ungkapan yaitu go’ t ini berisi harapan yang mengajarkan supaya manusia menjaga, memelihara dan membina persatuan, keutuhan, kekompakkan dan kerukunan dalam hidup bersama. Makna ungkapan go’et “n ka bike ca lidÄ“, n ka behas ca cewak” yaitu:
Pertama, go’ t ini menampilkan gagasan persatuan yang berusaha menghidarkan manusia dari bahaya perpecahan.
 Kedua, go’ t ini menyadarkan manusia bahwa persatuan merupakan sesuatu yang diperjuangkan harus dipelihara dan dijaga, tanpa persatuan dengan yang lain manusia sulit bekerja sama sebagai saudara, membina hubungan yang baik dan akrab dengan orang lain.
Ketiga, jika persatuan dan kesatuan terjaga dan terpelihara, maka kekompakan dan ketentraman dapat menjadi nyata dalam kebersamaan lonto ca golo, ka’Ä“ng ca b o (hidup dalam persekutuan persaudaraan komunal).
b)   Nai ca anggit, tuka ca leleng artinya yaitu seia sekata, satu konsepsi demi kesatuan aksi.
c)    Ca natas batÄ“ labar, ca uma bat  duat, ca wa  t ku agu ca mbaru batÄ“ ka’Ä“ng artinya yaitu satu halaman tempat bermain/bercanda ria bersama, satu kebun(lingko) tempat kerja/bertani bersama, satunya rumah tinggal.
Pentingnya persatuan dan kesatuan dalam kebersamaan diungkapkan lewat kata-kata lagu kolong, lagu endong yaitu:
 a) ma agu anak n ka woleng bantang artinya bapak dengan anak jangan beda pendapat.
b) As  agu ka  n ka woleng ta  artinya sanak saudara/adik dengan kakak tidak boleh berbeda pendapat.
c) ma agu anak n ka woleng bantang, as  agu ka  n ka woleng ta , rantang tombo lata ngasang artinya bapak dengan anak, adik dengan kakak jangan berbeda pendapat, supaya tidak dicerita orang nama baik keluarga atau supaya nama baik tidak tercemar.
2.6.3 Prinsip Pendidikan Dalam Konteks Budaya Manggarai
Seluruh dimensi kehidupan orang Manggarai diarahkan pada sebuah hukum keseimbangan. Upaya menyelaraskan hal tersebut, maka melahirkan sebuah prinsip pendidikan yang menjiwai seluruh ativitas kehidupan manusia. Hal tersebut bermuara pada terwujudnya sebuah kehidupan yang ideal menurut pandangan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat “di’a ba w ki” agar “tadang sangg d da’at” (Baik dalam sikap supaya tidak terhindar dari berbagai hal yang buruk).
Dalam bagian ini akan dibahas dua point penting yakni: prinsip pendidikan sebagai tu’a atau ata tu’a laing dan prinsip pendidikan sebagai murid atau generasi muda/anak.
2.6.3.1 Prinsip Pendidikan Sebagai Tu’a atau Ata Tu’a Laing
Menurut Sutam (2014:1-3) dalam konteks kehidupan masyarakat Manggarai tu’a atau ata tu’a laing diyakini sebagai guru yang menjadi sumber dalam mendidik generasi muda maupun anak. Cara atau proses dalam mendidik tersebut dikenal dengan prinsip 5 T. Kelima T tersebut diantaranya, pertama, t ing (memberi), kedua, toing (mengajar), ketiga, titong (mendidik atau membimbing), keempat, tatang/titing (menumbuhkan sikap kerja sama), kelima, tatong (menumbuhkan sikap afeksi).Kelima prinsip tersebut akan diuaraikan pada bagian berikut ini:
2.6.3.1.1 T ing (Memberi)
Kata t ing memiliki arti yang sama dengan kata memberi dalam bahasa Indonesia. Memberi adalah wujudnyata dari hukum cinta kasih. Dalam pandangan masyarakat Manggarai t ing memiliki arti yang cukup luas. Memberimenunujukkan sebuahperilaku konkrit tenggung jawab terhadap anak melalui “tinu” (membesarkan), toto nai bakok (ketulusan dan keiklasan). Contoh: Tinu anak pat mongko (membesarkan keempat anak), “t ing hang bara agu w ngko w ki” (membesarkan). T ing juga sebagai ungkapan totalitas orangtua dalam mendidik dan mengarahkan seorang anak yang diwujudnyatakan dalam bentuk sikap “toto nai bakok” (memberikan hati yang tulus) (Sutam, 2014:2).
Sebagai tu’a atau ata tu’a laing memiliki peranan penting dalam mendidik seorang anak “toi ata dia’n, pati ata di’an” (memberikan jalan yang baik dan benar, dan berbagi atau mensyaring hal-hal yang bisa membangkitkan semangat seorang anak).Memberi dengan penuh ketulusan serta totalitas dalam membesarkan seorang anak adalah salah satubentuk pendidikan dalam konteks budaya Manggarai yang dapat diaplikasikan kepada seorang anak atau generasi muda,  agar ia bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik.
2.6.3.1.2 Toing(Mengajar)
Menurut Sutam (2014:2), toing lebih bermuara pada aspek kognitif. Ada satu kata yang mirip dengan kata toing yaitu waheng = nasihat. Nasihat lebih merujuk pada sebuah tawaran berupa solusi yang diberikan jika telah melakukan kesalahan, sedangkan toing yang dimaksudkan disini, toing kudut p ci t  tombo (mengajar supaya bisa berbicara).
Sebagai tu’a ia harus mengajarkan atau memberitahukan kepada anak agar ia bisa mengetahui, mengenal dan memahami semua aturan dan hal-hal yang penting dalam kehidupan bersama. Segala kata-kata bijak yang diungkapkan oleh para tu’a-tu’a adat harus dibagikan kepada semua warga kampung yang dengan didukung oleh sikap yang tulus.
Dalam konteks pendidikan yang harus diterapkan oleh orang tua atau tua-tua adat, ia harus menjadi pelopor dalam mengarahkan serta mengontrol seorang anak, agar anak memiliki sikap yang baik untuk mendengar dalam berbagai kesempatan penting, maka dibutuhkan sebuah pengawasan dari orang tua supaya anak bisa  pasangmata t  l lo (melihat), tilu t  s ng t (mendengarkan) apa saja yang baik dan yang buruk yang diberitahukan oleh orangtua agar bisa direkam dalam memori dan dijadikan sebagai pengetahuan dalam perjalanan hidupnya kelak.
Dalam berbagai upacara penting, lazimnya orangtua mengarahkan anak- anak atau orang dewasa yang diungkapkan melalui: s ng t di’a sangg n taung hitu wa laun, boto sala ban l  m u tombon nituolon (dengar baik-baik, supaya tidak salah kaprah dalam menyebarkan informasi).
2.6.3.1.3 Titong (Mendidik atau Membimbing)

Menurut Sutam (2014:2), titong berarti mendidik, membimbing dan menemani dengan memberikan contoh yang baik . Membimbing erat kaitannya dengan cara yang diberikan atau petunjuk yang diarahkan agar seorang anak memiliki gambaran yang dapat mendorong mereka dalam membuat sesuatu, misalnya membuat pagar, kerja kebun, dll.
Dalam hal ini orangtua memberikan petunjuk atau arahan berkaitan dengan segala sesuatu yang harus dipersiapkan sebagai bekal bagi anak, baik dalam sikap, tutur kata maupun tindakan nyata. Arahan tersebut, lazimnya agar apa yang diharapkan bisa terwujud.

2.6.3.1.4Tatang/Titing (Menumbuhkan sikap kerja sama)
Menurut Sutam (2014:2), kata tatangatau titingdijelaskan dengan ungkapan berikut: kudut kantis ati, cengka lemas, huru nuk, helu nai = menanamkan kehendak yang kuat, pikiran yang tajam, roh keuletan. Dalam arti negatif tatang memiliki arti menghasuti anak untuk berkelahi (provokator). Tatang memiliki arti sebagai upaya untuk menumbuhkan sikap percaya diri,  menumbuhkan sikap kerja sama sambil membuat persaingan sehat.
Dalam konteks tertentu tatang diartikan sebagai cara untuk membujuk. Dalam konteks sebagai pewaris kebudayaan ia harus mampu mengenal dengan baik bakat dan minat seorang anak, sehingga dengan mudah ia memanggil supaya generasi muda menuruti apa yang dikehendakinya.
Dalam hal ini, sebagai orangtua ia  harus mengenal dengan baik kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak, dengan demikian cara yang digunakan untuk mendorong atau memotivasi seorang anak bisa tercapai.
2.6.3.1.5 Tatong (Menumbuhkan sikap afekasi)
Secara harafiahtatong berarti membantu meletakkan seorang bayi pada punggung seorang kakak yang lebih besar. Dalam konteks pendidikan sebagai tu’a tatong memiliki arti sebagai orang yang mampu menyatukan orang lain dengan memberi rasa aman dalam hidupnya. Sebagai tu’a ia harus mampu mengayomi dan mempersatukan semua anak-anak agar tercipatanya suasana yang harmonis, kuat secara fisik, ekonomi dan spritual (Bdk. Sutam, 2014:2).


2.6.3.2 Prinsip Pendidikan sebagai Generasi Muda atau Anak
Bagian ini dipaparkan prinsip pendidikan seorang murid atau generasi muda dalam mengakses pendidikan tentang budaya Manggarai. Menurut Sutam, (2014:3-8) dalam konteks pendidikan sebagai anak dapat dicerminkan melalui konsep 5 T berikut ini:pertama, tating/toting, kedua, tanang, ketiga, tingeng, keempat, tamang, kelimatoming.
2.6.3.2.1 Tating/toting (Sikap ingin bergabung)
Menurut Sutam, (2014:4) tating/totingdipakai oleh orang tua ketika memberikan semangat kepada anak-anak sedang belajar berjalan. Dalam tating ada target yang harus dicapai/dituju. Tahap ini sangat peting, sehingga anak memiliki rasa percaya diri dalam kehidupan selanjutnya.
Arti lain dari kata tating yaitu datang berkumpul atau bergabung bersama orang lain. Sikap rindu akan sebuah kebersamaansangat penting bagi seorang pemuda atau pemudi untuk mengikuti apa yang belum dia temui sebelumnya. Contoh: “mai kamping it , t gi nai ngalis agu tuka ngg ngga dit  (ada niat untuk meminta bantuan). Contoh: Sikap untuk mau mendengarkan pengalaman orang lain, meminta nasihat atau pendapat.
2.6.3.2.2 Tanang (Sikap siap untuk Diajar)
Menurut Sutam (2014:5-6) kata tanang memiliki tiga arti, yaitu (1) menyumbat, menutup lubang; (2) memakai, pakai, (3) bertahan. Dalam konteks pendidikan sebagai murid tanag memiliki arti sebagai berikut:
Pertama, sikap fokus, tidak boleh bercabang agar selalau memproritaaskan apa yang menjadi cita-citanya. Kedua, sikap persatuan. Sebagai anak harus mempersatukan dirinya dengan sesama dan dengan para tu’a-tu’a adat. Ketiga, sikap pantang menyerah, sabar dalam penderitaan.Kata lain yang memiliki dengan kata tanang dalam konteks pendidikan adalah kata tong (1) menampung, tadah; (2) menerima tanggunggan. Ini adalah sikap tanggung jawab yang berarti siap menerima, mendengar dan melaksanakan apa yang dianggap benar oleh tu’a-tu’a adat.
2.6.3.2.3 Ting ng (Meresap atau Menyerap)
Segala sesuatu yang sudah pernah terjadi yang dapat dipantau oleh mata, telinga adalah modal bagi kita untuk mempraktekan hal yang sama. Melalui niat dan partisipasi aktif dalam memanfaatkan tua-tua adat dalam berbagai kesempatan penting, hal itu adalah tanda yang mencerminkan kita adalah bagian dari kebudayaan (Sutam, 2014:7).
2.6.3.2.4 Tamang (Mengendap)
 Sutam (2014: 8) tamang memiliki arti melekat, berisi, mengendap dan singgah. Dalam proses pendidikan ilmu pengetahuan dan keterampilan dan berbagai kualitas lainnya akan menempel seperti lem, tersusun rapi, dikumpulkan sedikit demi sedikit lalu menumpuk. Mendengar berbagai nasihat dari orang tua, mengikuti berbagai jenis ritus-ritus adat akan membantu kita untuk memiliki pengetahuan yang luas.




2.6.3.2.5 Toming (Meniru)
Menurut Sutam (2014:9) kata toming berarti contoh, ibarat, seumpama, wujudkan. Pertama; sebagai anak atau murid  kita meniru atau mencontohi apa yang dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai guru; kedua, kita memberikan contoh kepada orang lain, apa yang kita katakan kita wujudkan dalam perbuatan dan tindakan nyata; ketiga, mengibaratkan atau membandingkan apa yang terjadi di tempat lain (yang baik/ideal) dan di tempat kita sendiri; antara suatu benda dengan benda yang lain; antara suatu keadaan dengan keadaan yang lain; keempat, toming berarti berperan secara maksimal dalam kehidupan ri’il sesuai dengan tugas dan fungsi. Dalam toming bukan saja berupaya untuk mengerti dan memkanai tetapi juga memberikan arti dan makna.











BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  Metode Penelitian
Pada bagian ini, penulis akan membahas hal-hal sebagai berikut, jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, narasumber, prosedur penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1.1  Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong 2012:4), menjelaskan metode kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang masalah yang diteliti dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dalam hal ini peneliti akan mencatat kata-kata tertulis dari buku, artikel, maupun lisan dari narasumber setelah melakukan wawancara berkaitan dengan perannya masing-masing dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
3.1.2  Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Gulung. Secara administrasi kepemerintahan Gulung merupakan salah satu kampung yang berada dalam garis koordinasi pemerintahan Desa Pong Leko, Kecamatan Ruteng Kabupaten Manggarai. Dasar pertimbangan penulis memilih Kampung Gulung sebagai lokasi penelitian yaitu sebagai berikut:
Pertama, keberadaan mbaru gendang yang sudah mulai rusak, dapur rumah gendang mengalami rusak total dan tidak bisa difungsikan, usung (kamar) yang ada di rumah gendang tidak ada penhuninya dan lemahnya koordinasi antara para tua-tua adat dalam merehabilitasi mbaru gendang dan dapurnya, sehingga berdampak pada minimnya berbagai aktivitas yang diselenggarakan seperti layaknya fungsi mbaru gendang.
Kedua, anak jarang memanfaatkan mbaru gendang sebagai sarana belajar dalam membekali diri dalam menunjang pengetahuan tentang budaya Manggarai. Penelitian ini diadakan pada bulan Mei-Juni 2017.
3.1.3 Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan penelitian yakni, studi kepustakaan dan studi lapangan. Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai kedua prosedur tersebut.
3.1.3.1  Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan prosedur yang dilakukan peneliti sebelum mengadakan penelitian lapangan di Kampung Gulung. Pada tahap ini peneliti mencari beberapa referensi yaitu buku-buku tentang kebudayaan, budaya Manggarai dan buku-buku pendidikan yang relevan dengan masalah penelitian yaitu, peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.



3.1.3.2  Studi Lapangan
Studi lapangan adalah proses lanjutan dari studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kajian teori tentang makna peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Dalam Studi lapangan peneliti pergi ke Gulung dan melakukan wawancara dengan beberapa tokoh adat, tokoh gereja dalam cakupan Kelompok umat basis (KUB) dan instansi pemerintah dalam struktur wilayah desa dan dusun.
Dalam proses wawancara peneliti menyiapkan beberapa alat dan bahan diantaranya: kertas hvs, belpoin, alat perekam, video dan foto. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menggali berbagai informasi yang diberikan oleh para narasumber, sekaligus sebagai bukti fisik dalam memperoleh informasi terkait dengan konten penelitian. Hasil wawancara tersebut akan di bahas pada Bab IV.
3.1.4     Jenis dan Sumber Data
Sumber data ialah subyek dari mana data itu diperoleh (Arikunto, 2006:129). Yang menjadi sumber data dalam penulisan ini adalah buku-buku serta beberapa karya yang tidak diterbitkan  dan data-data hasil wawancara dengan para narasumber.
           Untuk memperoleh data maka di butuhkan wawancara dengan narasumber. Dalam memperoleh narasumber, hal pertama yang ditempuh oleh peneliti adalah menemui orang yang berkedudukan paling tinggi dalam Kampung Gulung yaitu Kepala Desa Pong Leko. Langkah selanjutnya peneliti menemui para tua-tua adat serta melakukan kesepakatan untuk memperoleh informasi berkaitan dengan obyek yang akan di teliti. Dalam penelitian ini peneliti akan mencari narasumber lain yang dianggap paling penting untuk melengkapi data atau informasi terkait dengan sasaran penelitian. Mereka dipilih karena memiliki peran penting dalam kehidupan sautu kampung, baik dilihat dari jabatan/status,  pengetahuan  dan pengalaman yang cukup serta keberadaannya memiliki kaitannya dalam segala  dimensi kehidupan suatu komunitas atau kampung.
3.1.5     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah utama dalam penelitian  karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak mendapatkan data yang memenuhi standar  yang ditetapkan (Sugiyono, 2009: 308).
Untuk memperoleh data maka dibutuhkan wawancara. Wawancara yaitu percakapan dua belah pihak, yaitu pewawancara sebagai orang yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara sebagai sumber jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara (Bdk. Moleong, 2010:187).
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara. Jenis  wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Dalam wawancara terbuka para narasumber mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dan tujuan diadakannya wawancara. Dalam hal ini peneliti harus menyepakati dengan narasumber terkait dengan waktu dan tempat diadakannya wawancara (Moleong, 2010:189).
Dalam tulisan ini, untuk mendapatkan data maka peneliti menyiapkan instrumen wawancara yang dibuat dalam bentuk pertanyaan wawancara. Untuk memperoleh informasi yang akurat, peneliti mengajukan pertanyaan wawancara yang sifatnya terbuka kepada tua-tua adat di gendang Kampung Gulung dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Jawaban yang diperoleh dari para narasumber tersebut akan dibuat kesimpulan secara menyeluruh.
Dalam proses mengumpulkan data, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik observasi dan dokumentasi. Hal tersebut dilakukan agar memudahkan peneliti dalam menggali berbagai informasi ri’il di lapangan, untuk memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi beberapa obyek yang ada di lapangan dengan cara mengambil gambar sebagai bukti otentik.
3.1.6 Teknik analisis data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data menurut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2012:92). Bagian ini penulis akan menjelaskan tiga hal penting dalam melakukan analisis data:
Pertama, reduksi data yang berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokus hal-hal yang penting tentang peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data berkaitan dengan peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai serta memilahnya sehingga data yang tidak sesuai dengan fokus penelitian tidak perlu digunakan (bdk. Sugiyono, 2012:92).
Kedua, penyajian data yaitu tindakan yang dilakukan oleh peneliti untuk mengelompokkan data sesuai dengan temanya masing-masing. Dalam penelitian ini ada beberapa tema penting yang akan disajikan. Pertama, peran tua-tua adat. Kedua, pemertahanan mbaru gendang. Ketiga, peran tua-tua adat dan pendidikan anak. Dari ketiga tema tersebut akan dikembangkan kedalam sub-sub tema. Sub-sub tema tersebut akan dikembangkan dalam sub-sub tema yang adalah hasil pengolahan dari pertanyaan yang diajukan kepada narasumber dan jawabannya. Hal ini dilakukan agar memudahkan peneliti dalam menyajikan data tentang perannya dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak (Bdk.Sugiyono, 2012:95).
Ketiga, penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang diambil adalah suatu temuan baru yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah diberikan oleh narasumber kepada peneliti selama proses pengumpulan data tentang peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan anak yang dilakukan di lokasi penelitian. Penarikan kesimpulan ini dapat menjawabi perumusan masalah yang diajukan sejak awal dalam fokus penelitian yakni peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan anak akan dirangkum oleh peneliti (Bdk. Sugiyono, 2012: 99).



                                          DAFTAR PUSTAKA

I.     Dokumen
Damianus. Raru. Pesta Syukur Leluhur Empo Hadus. 2011. Gulung
Deno Kamelus, dkk. 2001. Penelitian dan Komplikasi Hukum Adat Pertanahan di Kabupaten Manggarai. Kupang
Pemerintah Kabupaten Manggarai. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. 2010. Ruteng.
II.  Kamus
Poerwadarminta WJS. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Verheijen. 1967. Kamus Manggarai I: Manggarai-Indonesia. Diterbitkan oleh: Kononklik Institut Voor Tall-Land En Volkenkunde.
Jilis. A. J. V. 1970. Kamus Manggarai II: Indonesia-Manggarai. Diterbitkan oleh: Kononklik Institut Voor Tall-Land End Volkenkunde.
III.   Buku-buku
Bagul Dagur Anthony. 1997. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Urbraha Press.
Bagul Dagur Anthony. 2004. Prospek dna Strategi Pembangunan Kabupaten Manggarai Dalam Perspektif Masa Depan. Jakarta: Indo Media
Barung Kanis dan Tote Yoseph. 2003. Pembelajaran Budaya Daerah Berbasis Lokal. Ruteng: CV. Permata Karya.
Hemo Doroteus. 1997. Tongka. Media Pengembangan Masyarakat.
   Janggur, Petrus. 2008. Butir-butir adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri  Bongkok.
Janggur, Petrus. 2010. Butir-butir adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Remaja Rosdakarya: Bandung.
Nggoro Marselinus Adrianus. 2006. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Surabaya: Silvia.
Sugiyono. 2012. Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Verheijen, A.J. Jilis. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL.
IV.   Karya yang tidak Diterbitkan
Desa Pong Leko, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. 2016.“Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa”. Longgo.
Sutam, Inosensius. 2016. “Diktat Budaya Daerah”. Ruteng: STKIP St. Paulus.
Sutam, Inosensius. 2014. “Pendidikan dalam PerspektifKebudayaan Manggarai”. Ruteng: STKIP St. Paulus.







V.      Narasumber

Yohanes Kaput, Tu’a GoloKampung Gulung. Wawancara,25 Mei 2017 
Karolus Kenanu, Tu’a Teno Kampung Gulung. Wawancara, 28 Mei 2017
Bonefasius Kapur, Tu’a Panga. Wawancara, 23 Mei 2017
Bernadus Babu, Tu’a Panga. Wawancara, 18 Juni 2017
Romanus Gendo, Tu’a Panga. Wawancara, 25 Juni 2017
Rofinus Wantur, Tu’a Panga. Wawancara, 1 Juni 2017
Wihelmus Mohina, Sekretaris Desa Pong Leko, Wawancara, 22 Mei 2017
Bonefasius Harjon, Kepala Dusun Gulung, Wawancara, 4 Juni 2017
Fransisikus Abu, Ketua RT Gulung 1, Wawancara, 2 Juni 2017
Yustinus Pambut, Ketua RT Gulung 2, Wawancara, 3 Juni 2017
Damianus Raru, Ketua KUB Gulung, Wawancara, 30 Mei 2017
Yakobus Jebandung, Ketua Kelompok Gulung 1, Wawancara, 29 Mei 2017
Kanisius Jelahut, Ketua Kelompok Rabeng, Wawancara, 5 Juni 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar