PERAN
TUA-TUA ADAT DI KAMPUNG GULUNG DALAM UPAYA PEMERTAHANAN MBARU GENDANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN TENTANG BUDAYA
MANGGARAI KEPADA ANAK
SKRIPSI
Diajukan
Kepada
Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan St. Paulus Ruteng
Sebagai Salah
Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Pendidikan
OVANTUS YAKOP
NPM: 13.31.3018
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SANTU
PAULUS RUTENG
2017
ABSTRAK
Yakop, Ovantus. 2017. Peran Tua-tua
Adat di Kampung Gulung Dalam Upaya Pemertahanan Mbaru Gendang dan Implikasinya Terhadap Pendidikan tentang Budaya
Manggarai Kepada Anak. Skripsi:STKIP St. Paulus Ruteng. Dibimbing oleh Dr.
Inosensius Sutam, sebagai pembimbing I dan Arnoldus Helmon, M.Pd sebagai
pembimbing II.
Kata Kunci: Peran Tua-tua
adat, pemertahanan mbaru gendangdan
pendidikan anak.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh
adanya realitas pergeserandalam pemertahanan mbaru gendang sebagai elemen budaya dalam konteks kehidupan
masyarakat Manggarai termasuk didalamnya adalahgendang di Kampung Gulung.Pemertahanan mbaru gendang yang dimaksud adalah peranyang dilakukan olehtu’a-tu’aadatdan implikasinya terhadap
pendidikan budaya Manggarai kepada anak.Merujuk pada realitas tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran tu’a-tu’a adat di gendang
Kampung Gulung dalam pemertahanan mbaru
gendang dan implikasinya terhadap pendidikantentang budaya Manggarai kepada
anak di Kampung Gulung.
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Gulung, Desa Pong Leko,
Kecamatan Ruteng. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi
terstruktur terhadap tua-tua adat. Teknik analisis data menggunakan teknik yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang berimplikasi terhadap
pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Pemertahanan mbaru gendang tersebut bagi mereka
merupakan suatu keharusan dan bentuk tanggung jawab atas perannya
masing-masing. Berbagai peran yang dilakonioleh para tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang berimplikasi langsung
terhadap pemertahanan mbaru gendang.Peran
tua-tua adat sebagai pemimpin umumuntuk menyatukan seluruh warga kampung,
melalui garis komando dan koordinasi antara tua dengan fungsi mbaru gendang sebagai pusat
diselenggarakannya berbagai kepentingan umum maupun khusus memiliki kesamaan
makna dalam konteks pemertahanan mbaru
gendang. Kesamaan itu, diwujudnyatakan melaluilonton bongkok dan peran tu’a
golo sebagai pemimpin umum warga kampung, riang niang dan peran masing-masing tu’a menjadi tanda yang membedakan mereka dengan tu’a-tu’a lain yang ada dalam suatu
kampung. Makna peran tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang akan mendorong segenap anggota masyarakat untuk
melibatkan diri dalam berbagai jenis upacara yang dijalankan di mbaru gendang.
Kendatipun dalam potret realitas fungsi mbaru gendang belum optimal, tetapi para
tua-tua adat di Kampung Gulung mengakui bahwa melalui perannya dalam fungsimbaru gendang sebagai pusat digalakkan berbagai
ritus-ritus adat dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan tentang budaya
Manggarai kepada anak.
Dalam berbagai peran yang dilakoni oleh
masing-masing tua-tua adat dalam mbaru
gendang, seluruh warga kampung mulai dari anak-anak hingga orangtua,
memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan tentang budaya
Manggarai. Bentuk pendidikan budaya tersebut, terungkap dalam berbagai
kesempatan penting diantaranya:Pertama,
lonto l
ok
atau lonto liupyang mencerminkan
nilai gotong-royong, dan menumbuhkan kedekatan emosioanal diantara warga
kampung. Kedua, ritus-ritus yang
dilaksanakan mengungkapkan relasi dengan para leluhur agar selalu diberi
kesehatan, kesuksesan dan kedamaian. Ketiga,
berbagai peralatan budaya yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan
tertentu akan membangkitkan semangat dalam mengenal dan mempelajari berbagai
jenis pukulan gong, gendang serta peralatan caci. Keempat, sanda dan mbata yang diselenggarakan tersirat
mengajarkan aneka nilai positif bagi segenap warga kampung.
Peran tua-tua adat dan mbaru gendang memiliki hubungan yang erat, baik melalui makna dalam
peran maupun dalam fungsi mbaru gendang. Kedua hubungan tersebut
berimplikasi langsung terhadap akses pendidikan anak tentang budaya Manggarai.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah
satu kapital sosial yang ada dan hidup dalam masyarakat Manggarai yakni lembaga
adat. Lembaga adat memiliki peran penting sebagai pelaku utama atas kebudayaan
dalam sebuah komunitas kecil yang kerap disebut sebagai b
o/golo
lonto (kampung). Menurut Verheijen (1991:25),b
omerupakan
kesatuan terkecil dan sekaligus sakral.
Setiap
kesatuan sosial terkecil dikatakan sebagai sebuahb
o
apabila ditandai dengan adanya unsur-unsur berikut.Pertama, lembaga adat yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno dan tu’a
panga. Kedua, memiliki mbaru gendang (rumah adat) yang
dilengkapi dengan berbagai peralatan budaya. Ketiga, mempunyai wilayah kekuasaan oleh kesatuan masyarakat hukum
adat (lingko) (Bdk. Janggur, 2008:
225-226).
Perpaduan ketiga unsur tersebut, menggambarkan
keterkaitan antara keberadaan para tu’a-tu’a
adat dalam suatu
kampung dengan mbaru gendang dan lingko. Pandangan masyarakat Manggarai,
hal tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sebuah go’
t
(ungkapan) “gendang on
-lingko
p
ang’’
(gendang yang digantungkan pada rumah adat menjadi satu kesatuan yang utuh
dengan lingko-lingko yang menjadi hak
warga masyarakat setempat). Ungkapan tersebut tentunya dipandang sebagai
petunjuk sekaligus pedoman yang menggarahkan segenap anggota perseketuan.
Hal
ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; Pertama, aspek historis berdiri dan terbentuknya sebuah b
oleh para leluhur sehingga mereka di posisikan
sebagai ata tu’a laing on
ca b
o
(yang tertua dalam sebuah kampung). Kedua,
seorang tu’a golo dipilih dilihat
dari usia (ata ngaso/ka
laing)
dan
memahami adat-istiadat.Ketiga, tu’a teno dipilih berdasarkan pergiliran keturunan, baik dari
keturunan kakak maupun adik. Keempat,
tu’a panga yang merupakan utusan dari
setiap keluarga ranting (Bdk. Nggoro, 2006: 76-78).
Eksitensi
lembaga adat di Manggarai mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, segala bentuk
perilaku-perilaku individu yang melanggar hukum norma adat dalam kehidupan
bersama di suatu kampung, dilimpahkan kepadatu’a-tu’aadat
melalui garis komando dan koordinasi antara tu’a-tu’a
sebagai pihak pengambil keputusan, sekarang hal itu jarang sekali ditemukan
karena sudah diganti oleh hukum positif(Bdk. RPJD Kab. Manggarai, 2010: 72).
Tradisi
masyarakat Manggarai, ungkapan ata tu’a
atau atatu’a laingdalam suatu kampung
memiliki kaitannya dengan kedua identitas yang ada pada suatu komunitas
kecilyakni mbaru gendang dan lingko.Mbaru gendang(mbaru =
rumah, gendang = alat musik
tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing). Arti budaya
istilah mbaru gendang selalu merujuk
pada pengertian rumah adat. Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya;
berbagai peralatan musik tradisional seperti; nggong dan gendang
disimpan pada mbaru gendang, tempat
diselenggarakannya berbagai upacara-upacara adat (Bdk.Nggoro, 2006:30).
Kedudukan mbaru gendang sebagai salah satu ciri
khas dalam sebuah kampung mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keberadaan
para tu’a-tu’a adat, baik dilihat
darifungsimbaru gendangmaupun peran
dari tu’a-tu’a adat itu sendiri.
Keterkaitan antara
fungsi mbaru gendang dan peran tu’a-tu’atersebut,diungkapkan melalui;
Pertama, mbaru gendang sebagai tempat
tinggalnya tu’a-tu’a adat yang
merupakan pemimpin umum warga kampung. Kedua, mbaru gendang sebagai tempatdiadakannya rapat penting yang
berhubungan dengan kepentingan umum warga kampung dengan peran masing-masing
peran tu’a adat yang dilukiskan dalam
garis komando dan koordinasi antara tu’a.
Ketiga, mbaru gendang sebagai tempat
untuk menerima tamu penting dan peran tu’a-tu’a
adat dalam menerima tamu tersebut secara adat. Keempat, disimpannya berbagai
benda-benda pusaka peninggalan leluhur dan upacara pembersihan barang pusaka oleh
tu’a-tu’a adat. Kelima,
diselenggarakannya pesta-pesta besar warga kampung seperti; penti,wagal, ta
kaba, cepa dan peran tu’a-tu’a adat sebagai pemimpin dalam
menyelenggarakanupacara tersebut (Bdk. Janggur, 2010: 22-23).
Keunikan mbaru gendang sebagai salah satu elemen
budaya Manggarai, dapat kita jumpai di setiap kampung. Bagian-bagian yang ada
pada mbaru gendang mempunyai fungsi
dan makna tersendiri bagi tu’a-tu’a
adat dan segenap warga kampung.
Mbaru
gendang sebagai salah satu identitas suatu kampung,
seringkali tidak dihayati secara mendalam oleh segenap tu’a-tu’a adat dan warga kampung. Para Tu’a-tu’a adat yang sebenarnya menghuni di mbaru gendangnamun jarang sekali ditemukan. Makna peran dari
masing-masingtu’a adat tidak dihayati
dalam bentuk tanggung jawabnya untuk menghuni dan merawat mbaru gendangserta dapur mbaru
gendang yang sudah rusak bahkan terancam punah.
Lingko/uma
bat
duat merupakan salah satu
tata ruang budaya orang Manggarai. Lingko
(kebun yang menyerupai sarang laba-laba) erat kaitannya dengan sistem
matapencaharian masyarakat Manggarai. Lingko
dan peran tu’a teno menjadi bagian
yang terpisahkan dalam kehidupan suatu kampung. Hal ini dilukiskan dalam
beberapa peran tu’a teno yakni:
mencatat nama-nama anggota yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat, membagi
kebun dan menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan langsung dengan
kebun (Nggoro, 2006: 79-81).
Lingko
dalam beberapa dekade terakhir seringkali diwarnai oleh berbagai persolan di
Manggarai. Persoalan tersebut sudah ada sejak tahun 1935-1993 dengan rentan
usia konflik yang cukup lama berkisar antara 30-60 tahun (Bdk. Deno Kamelus,
dkk, 2001:3-4).Konflik yang berkepanjangan tersebut akan menimbulkan berbagai
persoalan baru dalam masyarakat.
Peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendangmerupakan satu kesatuan
yang utuh dalam konteks pemertahanan mbaru
gendang.Peran yang dilakoni oleh masing-masing tu’a adat dalam mbaru gendangmerupakan
indikasi yang menggambarkan sejauh mana tu’a-tu’a
adat dalam mempertahankan fungsi mbaru
gendang.
Jika di kampung halaman
seorang anak mengenal berbagai peran tu’a-tu’a
adat dan fungsi mbaru gendangmaka ia
sedangmempelajari tentang budaya Manggarai. Akses pendidikan tersebut dapat
diperoleh dengan memanfaatkan tu’a-tu’a
adat sebagai sumber belajar utama (guru) sedangkan anak memposisikan diri
sebagai murid (Bdk. Sutam, 2014:1-3).
Pandangan masyarakat
Manggarai tu’a-tu’a adat merupakan
symbol pewaris dan anak merupakan penerus ahli waris. Hal ini didasari oleh
sebuah pepatah kuno Manggarai (go’
t)yakni
“muntung gurung pu’u-manga wungkut nipu
curup, wakak b
tong
asa-manga wak
nipu ta
(ketika para tu’a-tu’a adat sudah meninggal, diharapkan anak/generasi muda yang
memiliki tanggung jawab dalam memelihara serta meneruskan
kebudayaan).Pendidikan tentang budaya Manggarai dapat diakses melalui menikmati
berbagai pengalaman langsung yang dilaksanakan oleh para tu’a-tu’a adat di mbaru
gendang maupun di luar kampung.
Bentuk pendidikan budaya tersebut diakses melalui berbagai
kesempatan lonto l
ok,
caca mbolot, sanda, mbata, hambor, penti dan t
ing
hang.
Aktivitas tersebut dapat menunjang generasi muda atau anak dalam menimba
pengetahuan dari generasi tua. Segala bentuk tuturan, petuah, nasihat maupun
sikap yang dalam berbagai peran yang dijalankan oleh masing-masing tua, secara
berlahan-lahan anak/generasi muda memahami putusannya, mengerti filosofinya,
mengetahui sejarah keturunan dan posisi masing-masing dalam lingkaran
persekutuan secara keseluruhan. Dengan mengetahui posisi masing-masing,
menumbuhkan rasa saling mengharagai dalam konteks struktur kekerabatan, terbina
keharmonisan vertikal dan horizontal serta terpeliharanya rasa solidaritas
sesama warga persekutuan, ada pertobatan silahturahmi dan nilai positif lainnya
(Bdk. Deno Kamelus, dkk, 2001:80).
Kendatipun demikian dalam kenyataannya
masih banyak lembaga adat di Manggarai yang kurang menyatu dengan perannya. Mbaru gendang yang sebelumnya dihuni
oleh tu’a-tu’a adat dan dapat
dijadikan sebagai ruang publik warga kampung dalam mengakses pendidikan tentang
nilai-nilaibudaya Manggarai kepada anak, hal itu jarang sekali dijumpai.
Dewasa
ini, anak atau generasi muda Manggarai sudah mengenal pendidikan tentang budaya
Manggarai melalui lembaga formaldengan lahirnya pembelajaran muatan lokal
budaya daerah pada jenjang SD dan SMP (Barung,dkk, 2002:vii). Menurut Sutam,
(2014:1-3) adapun peran tu’a-tu’a
adat sebagai guru atau pewaris budaya dengan fungsi mbaru gendang sebagai sarana belajar dalam proses pewarisan
pendidikan tentang budaya Manggarai dapat ditampilkan melalui 1) Teing (memberi), 2) Tatong (menumbuhkan rasa afeksi), 3) Toing (mengajarkan), 4) Titong
(membimbing), 5) Tatang (memotivasi).
Lebih
jauh Sutam, (2014:4-9) mengungkapkan bahwa prinsip pendidikan yang harus
dimiliki oleh anak atau generasi muda dalam Manggarai diantaranya; pertama, tating/toting (rindu akan kebersamaan), kedua, tanang (menampug),
ketiga, tingeng (merekam), keempat,
tamang (disimpan dengan baik dan
teratur), kelima, toming (meniru). Dalam menunjang
pendidikan tersebut dibutuhkan keuletan dan partisipasi aktif dari generasi
muda dengan cara
(melihat), apa yang dilakukan oleh para
tua adat, s
ng
t
(mendengarkan), id
(meresapi), pand
(berbuat/melakukan) sesuai dengan
pandangan orang Manggarai.
Kelima
konsep yang telah diuraikan menggambarkan adanyakaitan yang erat antara peran tu’a-tu’a adat dan pendidikan tentang
budaya Manggarai. Semua warga kampung dapat berkumpul di mbaru gendanguntuk melaksanakan berbagai aktivitas yang selaras
dengan maksud dan tujuannya masing-masing.
Seiring
dengan bergulirnya waktu, mbaru gendang
yang merupakan sebagai salah satu ruang budaya yang paling dekat dengan
kehidupan orang Manggarai mengalami perubahan.
Berdasarkan
hasil observasi pra penelitian dalam konteks mikro di Kampung Gulung dengan
kurun waktu dua tahun terakhir, potret realitas perubahan itu, nampak dengan
minimnya kesadaran warga kampung dalam merehabilitasi dapur mbaru gendang yang sudah mulai rusak
total serta mbaru gendang yang sudah
mulai lapuk dan tidak ada penguhuninya.
Menyadari tu’a-tu’aadat dan mbaru
gendang sebagai elemen pentingdalam menunjang generasi muda untuk mengakses
pendidikan tentang budaya Manggaraimaka perlu mengetahui sejauh mana peran tu’a-tu’aadat di Kampung Gulung dalam
upaya pemertahanan mbaru gendangdan
seperti apa implikasi dari perannya tersebut terhadap pendidikan tentang budaya
Manggarai kepada anak.
Berdasarkan uraian tersebut maka
melakukan penelitian dengan judul “PERAN TUA-TUA ADAT DI KAMPUNG GULUNG DALAM
UPAYA PEMERTAHANAN MBARU GENDANG DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN TENTANG BUDAYA MANGGARAI KEPADA ANAK”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada
latar belakang maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah
bagaimana peran para tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang di Kampung Gulung dan implikasinya terhadap
pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak?
1.3 Tujuan Penelitian
Atas dasar perumusan
masalah maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu menjelaskan
peran tua-tua adat di gendang Kampung
Gulung dalam upaya pemertahanan mbaru
gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai
kepada anak.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki
dua manfaat yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat
Teoritis
Secara umum tulisan ini
akan memberikan sumbangsih kepada seluruh masyarakat Manggarai untuk memahami
peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru
gendang serta implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai
kepada anak.
1.4.2
Manfaat
Praktis
1. Sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi S-1 pada program studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Lembaga Pendidikan STKIP St. Paulus Ruteng.
2. Bagi
Pemerintah
Pemerintah
daerah, secara khusus bagi Dinas pendidikan dan kebudayaan. Penelitian ini bisa
dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui apakah mbaru gendang yang diakui sebagai salah satu tata ruang budaya
Manggarai sudah menjadi pemahaman bersama bagi lembaga adat dan masyarakat
Manggarai umumnya dan secara khusus bagi lembaga adat di gendang Kampung Gulung, sehingga kemudian bisa dirumuskan
program-program tertentu yang bertujuan untuk memberdayakan lembaga adat
tersebut sebagai salah satu sumber belajar utama bagi anak masa kini dan yang
akan datang dalam mengenal budayanya sendiri.
3. Bagi
Lembaga Adat
Agar
tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan lokal budaya Manggarai,
terutama dalam pemertahanan mbaru gendang
sebagai bentuk pewarisan pendidikan budaya Manggarai kepada anak.
4.
Bagi Generasi Muda Manggarai
Tulisan
ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk melihat serta merefleksi kembali
nilai-nilai budaya Manggarai yang harus dihidupkan kembali, secara khusus dalam
melibatkan diri dalam memanfaatkan mbaru
gendang sebagai perantara dalam membekali diri untuk memperluas pengetahuan
tentang budaya Manggarai dengan memanfaatkan lembaga adat sebagai sumber
belajar utama.
5. Bagi
Lembaga STKIP St. Paulus Ruteng
Agar selalu peka dengan situasi sosial yang
ada di masyarakat sehingga bisa mengemas sebuah program tertentu melalui KKN
maupun kegiatan ekstrakurikuler lainnya, yang bermuara pada pemberian
pencerahan bagi lembaga adat serta anak mudadalam menata ruang budaya.
1.5 Definisi Operasional
Ada
beberapa defenisi operasional dalam tulisan ini:
1. Peran
tua-tua adat merupakan wacana yang luas yang meliputi multi aspek kehidupan
masyarakat di setiap kampung. Oleh karena itu dalam tulisan ini yang menjadi
fokus perhatian adalah peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap
pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
2. Pendidikan
Anak yang dimaksud dalam tulisan ini adalah cara yang dilakukan oleh para
tua-tua adat agar anak memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai dalam budaya
Manggarai. Anak yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah anak yang sedang
mengenyam pendidikan di Sekolah dasar di Kampung Gulung.
1.6 Sistematika Penulisan
Tulisan
ini terdiri dari lima bab. Bab I memaparkan pendahuluan, terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, defenisi
operasional dan sistematika penulisan. Bab II mengguraikan tentang empat (4)
point penting yaitu: kebudayaan secara umum, tu’a-tu’a adat, mbaru
gendang, pendidikan secara umum dan pendidikan dalam konteks budaya
Manggarai. Bab III membahas tentang metode penelitian yang terdiri dari dari
jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data dan
analisis data. Bab IV memaparkan hasil penelitian dan pembahasan.Bab V
berisikan tentang kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil
penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kebudayaan
Dalam bagian ini akan dibahas
tentang pengertian kebudayaan secara
etimologis, kebudayaan dalam pengertian luas, unsur-unsur kebudayaan, wujud
kebudayaan. Hal tersebut penting karena, mbaru
gendang dan tua-tua adat merupakan bagian yang tak pernah dipisahkan dari
kebudayaan Manggarai.
2.1.1 Pengertian
Defenisi tentang
kebudayaan sangat beragam yang disampaikan oleh para ahli kebudayaan
berdasarkan pendasaran dan teorinya masing-masing. Di bawah ini akan dibahas
dua bagian tentang pengertian kebudayaan.
2.1.1.1
Secara Etimologis
Menurut Koenjraningrat
(1983: 183), kata kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta buddhayah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal
budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebutculture, yang berasal
dari kata Latin colore
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani.Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai kultur dalam
bahasa Indonesia yang berarti pemeliharaan dan pembudidayaan. Jadi kebudayaan
merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang dibiasakan dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
2.1.1.2
Kebudayaan dalam Pengertian Luas
Di bawah ini beberapa
pandangan para ahli berkaitan dengan kebudayaan. Pertama,E. B. Tylor. Tylor mendefenisikan kebudayaan sebagai suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pegetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.Kedua, R. Liton mengartikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah
laku yang dipelajari dan hasil tingkah yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya
didukung dan diteruskan oleh masyarakat lainnya.Ketiga, Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Keempat, Herkovits, kebudayaan adalah
bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia (Setiadi dkk,
:27-28).Kelima, Koenjraningrat
(1983:9) mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri
manusia dengan belajar.
Dari
beberapa pandangan para ahli tersebut dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta manusia yang diperoleh melalui proses belajar dari
lingkungannya sebagai wujudnyata akan keberadaannya sebagai makhluk individu
dan sosial di dalam komunitas tertentu.
2.1.2 Unsur-unsur Kebudayaan
Kebudayaan umat manusia
mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Hal tersebut disebabkan
unsur-unsur kebudayaan itu dapat ditemukan pada kebudayaan bangsa-bangsa di
dunia. Ketujuh unsur kebudayaan sebagai cultural
universals tersebut yakni: (1) Bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3)
organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata
pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) kesenian (Koenjraningrat, 1983: 206).
Dari ketujuh pokok
unsur-unsur kebudayaan yang telah diuraikan memiliki satu kesatuan yang utuh
dan tidak dapat dilepaspisahkan dari satu unsur dengan unsur yang lain dalam keberlangsungan
hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan.
1.
Bahasa
Bahasa erat kaitannya
dengan cara yang digunakan oleh masyarakat dalam membangun relasinya dengan
sesama dalam kehidupan sehari-hari. Alat komunikasi tersebut dapat diungkapkan
melalui bentuk lisan maupun tulisan (Bdk. Koenjraningrat, 1983: 210).
2.
Sistem
Pengetahuan
Sistem
pengetahuan yaang dimiliki oleh masyarakat diwujudnyatakan dalam bentuk ide
atau gagasan (Bdk. Koenjaraningrat, 1983:207).
3.
Organisasi
Sosial
Struktur
organisasi sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat mencakup sistem
kekerabatan, sistem berpacaran, pertunangan, perkawinan dan lain-lain (Bdk
koenjaraningrat, 1983: 210).
4.
Sistem
Peralatan Hidup dan Teknologi
Benda-benda
budaya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat pada saat
bekerja (Bdk. Koenjaraningrat, 1983: 210).
5.
Sistem
Mata Pencaharian Hidup
Untuk
mempertahankan hidup suatu masyarakat harus mencari sumber kehidupan yang
terdiri dari sistem pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan dan
lain-lain (Bdk. Koenjaraningrat, 1983: 210).
6.
Kesenian
Kesenian
selalu bermuara pada sebuah hasil karya. Dalam suatu masyarakat kesenian
terdiri dari seni rupa, seni suara, seni gerak, seni sastra, seni drama dan
sebagainya (Koenjaraningrat, 1983: 210).
7.
Sistem
Religi
Manusia menyadari bahwa
di atasnya masih terdapat kekuatan luhur, kepada-Nya dia merasa bergantung. Ini
juga yang mendorong manusia untuk menyembah dan dari sinilah lahir kepercayaan
yang kemudian berkembang menjadi agama. Sistem religi dan semua ritus keagamaan
merupakan perwujudan atau ungkapan bagaimana manusia mampu mengundang yang
Ilahi untuk dapat menjawabi semua kebutuhannya (Kebung 2011: 247).
2.1.2 Wujud Kebudayaan
Menurut Koenjaraningrat (1983:189-190),
kebudayaan memiliki tiga wujud.
Pertama,
wujud ideal. Wujud ini sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto.
Lokasinya berada dalam alam pikiran masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut sebagai adat tata
kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam
bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermuara pada kebudayaan ideal yang
memiliki fungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi
arah kepada sikap dan perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua,
sistem
sosial. Wujud ini berkaitan erat dengan tindakan berpola dari manusia itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi,
berhubungan satu dengan yang lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari
tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat,
maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.
Ketiga,
kebudayaan
fisik.Wujud kebudayaan ini berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, sifatnya paling konkret dan
berupa benda-benda atau hal-hal yang bisa dipantau dengan menggunakan
pancaindra.
Ketiga wujud kebudayaan yang telah
diuraikantersebut dalam kehidupan nyata tak dapat terpisahkan satu dengan yang
lain. Kebudayaan ideal dengan masyarakat karena mengatur dan memberi arah pada
perbuatan dan karya manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya.
Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang
makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahya sehingga
mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara
berpikirnya.
2.2 Tinjauan tentang Kampung (B
o)
Ada
dua point penting yang akan dipaparkan dibawah ini diantaranya pengertian
kampung dan bagian-bagian dalam kampung.
2.2.1 Pengertian Kampung (B
o)
B
o atau kerap disebut golo
suatu tempat tinggal untuk selama-lamanya. Lokasi tempat tinggal dipilih
memiliki sejarah yang unik, selain itu harus melewati beberapa upacara seperti:
c
c
-cocok dan congko lokap (Janggur, 2010:1).
2.2.2
Syarat-syarat Sebuah Kampung(B
o)
Pada
bagian ini akan dipaparkan tata ruang budaya yang terdiri dari mbaru tembong/gendang, natas, compang, wa
t
ku dan lingko/uma duat (Nggoro, 2006: 29-40).
Menurut Sutam
(2016:73), menegaskan tempat itu memengaruhi hidup manusia, bukan saja secara
fisik tetapi juga secara spiritual; menentukan baik buruk nasib penghuniunya.
Karena itu, sebelum masyarakat membangun atau mendiami rumah dan kampung baru,
sebelum membuka kebun, membuat compang,
membersihkan “wa
t
ku”
dan memperbaiki/menggali kubur, selain mempersiapkan materi fisik, mereka juga
harus mempersiapkan hal-hal non fisik, seperti ritus-ritus atau syarat-syarat
tertentu berdasarkan petunjuk tua-tua adat dan dukun (ata mbeko).
Petunjuk
yang berikan oleh para tua-tua adat tersebut merupakan syarat dalam berbagai
ritus-ritus adat yang dilaksanakan sepanjang tahun dalam lingkaran garis hidup
manusia Manggarai. Ritus-ritus itu dilaksanakan bertujuan untuk memuji,
bersyukur dan memohon berkah, juga ingin menyucikan tempat-tempat itu dari
segala kecemaran, sehingga selalu sehat, makmur dan bahagia serta mendatangkan
rahmat yang berlimpah bagi segenap warga kampung. (Bdk.Sutam, 2016:73).
2.2.2.1 Mbaru Gendang/Tembong
Mbaru
gendang(mbaru=rumah,
gendang= alat musik tradisional
Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing).Dalam pandangan masyarakat
Manggarai mbaru tembong/mbaru gendang
merupakan salah satu kekayaan budaya Manggarai yang memiliki banyak makna. Arti
budaya istilah mbaru tembong adalah
rumah adat. Mengapa digunakan mbaru
tembong untuk merujukan pada pengertian rumah adat? Karena didalam mbaru gendang inilah sebagai tempat
disimpannya alat-alat tradisional. Contohnya gendang dan nggong. Mbaru gendangjuga adalah tempat
dilaksanakan acara-acara adat. Fungsi gong (nggong)
untuk memanggil warga kampung dalam rangka mengadakan rapat/musyawarah umum
warga kampung. Tempat dilaksanakannya adalah dimbaru tembong (Nggoro,2006:30).
Menurut orang Manggaraimbaru bat
ka’
ngada dua jenis yaitu rumah adat (mbaru gendang) dan rumah biasa. Kedua rumah ini memiliki fungsi
dan ukurannya sangat berbeda. Dari kedua jenis rumah ini, yang menjadi pusat
perhatian masyarakat Manggarai adalah rumah adat (mbaru gendang)daripada rumah biasa, karena mbaru gendang/tembong juga sebagai simbol kesatuan dan persatuan,
kekerabatan, persaudaraan dan kebersamaan baik dalam kesatuan warga kampung
dengan sesamanya maupun dengan lingkungan terutama hak-hak kepemilikan atas tanah-tanah
adat atau lingko (tanah komunal). Mbaru gendang/tembong merupakan symbol
sekaligus pusat seluruh kehidupan orang Manggarai.
2.2.2.2 Natas
Natas artinya halamam umum kampung. Luas
natas hampir seluas ukuran lapangan sepak bola=100mx100m, tetapi luas natas mempunyai fungsi yakni; agar bisa
di pakai warga kampung untuk kema perkawinan (nd
i kawing), untuk tempat permainan caci pada
saat upacara wagal(upacara masuk
minta) atau upacara congko lokap
(upacara pembersih kotoran ketika sudah membuat gendang baru), tempat olahraga
anak-anak (osang labar data ko
), dan tempat untuk menjemur hasil-hasil panen (Nggoro,
2006:33-34).
2.2.2.3
Compang
Compang
merupakan tempat sesajian (altar
korban) yang terletak di halaman rumah adat (mbaru gendang). Compang
berbentuk bundar menyerupai meja persembahan, terbuat dari tumpukan tanah, dan
batu-batu. Di tengah compang tumbuh
pohon besar atau (langke) yang
sengaja di tanam. Bentuk compang yang terdapat di kampung menyerupai pohon
beringin. Mengapa orang manggarai lebih memilih pohon beringin untuk menanam di
compang? Alasan yang lazimnya adalah
karena pohon tersebut jarang atau bahkan tidak pernah punah.
Adapun fungsi dari compang bagi masayarakat manggarai
umumnya adalah sebagai altar sesajian pada saat upcara-upacara besar, seperti: k
las m
s
(pesta kenduri untuk seorang tokoh dalam
kampung), hang rani (pesta menjelang
matangnya tanaman dalam kebun, khususnya padi), atau kalok (pesta adat yang diselenggarakan pada saat kebun sudah mulai
memberikan hasil-hasil pertama seperti jagung dan sayur-sayuran), dan penti (pesta syukur setelah panen)
(Nggoro, 2006: 34-35).
2.2.2.4
Wa
T
ku
Wa
t
ku arti harfiahnya air timba. Kata ini menunjukkan kata benda.
Beda artinya dengan istilah wa
t
ku (timba air).Wa
t
ku adalah suatu istilah budaya manggarai yang bertautan dengan
tata ruang budaya manggarai. Wa
t
ku adalah bagian kebutuhan yang paling vital dalam hidup
manusia. Wae teku adalah suatu
penegasan makna yang menunjuk pada pengertian bagian tata ruang budaya. Menurut
kebiasaan moyang manggarai/orang manggarai sekarang ini bahwa kalau hendak
membuka kampung baru (b
o w
ru), maka harus ada wa
t
ku-Nya(Nggoro, 2006: 36).
2.2.2.5 Lingko/ Uma Duat
Uma
duat artinya tanah garapan. Sebetulnya
bisa di istilahkan saja uma (kebun)
untuk menunjukkan kata uma duat itu.
Dengan menyebut kata umadapat di
pahami bahwa itu maksudnya ialah kebun. Tradisi manggarai sebutan uma duat lebih menegaskan maknanya
sebagai kebun yang di garap/diolah. Istilah uma
duat menekankan makna kerja bagi orang manggarai. Kerja atau bekerja di
kebun adalah bagian dari hidup manusia.
Menurut Nggoro (2006:39) adat orang
manggarai apabila ada salah seorang warga kampung/masyarakatnya tidak mendapat
sebidang tanah dari lingko, maka
warga tersebut di beri sanksi yaitu; tidak izin untuk tinggal di kampung (b
o) tersebut. Karena itu, cara untuk menggarap tanah itu,
melalui musyawarah sekelompok masyarakat yaitu dengan cara tente teno. Tanah ulayat itu wajib dimiliki setiap anggota yang ada
dalam suatu masyarakat atau kampung yang telah berkeluarga/ dewasa. Mengapa
tanah ulayat di haruskan ada lingko
utamanya harus ada dalam suatu kampung dan lingko
utama harus bertautan dengan sejarah pada waktu membuka kampung baru (hes
b
o
w
ru).
Ini penting karena lingko harus di
beri nama yang ada hubungannya dengan nama kampung itu.
2.2.2.6
Boa
Boa artinya kubur, kuburan, makam. Boa
ialah tempat pemakaman, leluhur, keluarga, sanak saudara yang telah meniggal
dunia. Yang cukup menarik disini adalah bila ada yang meninggal dunia dari
salah seorang anggota keluarga, maka di makamkan di dekat kuburan sanak saudara
atau leluhur sesuai garis keturunan terdekat. Biasanya bila orang manggarai
mengadakan upacara penti (syukuran), penti
beo (syukuran kampung), penti kilo
(syukuran keluarga), penti ongko gejur (syukuran memungut panen), penti neteng ntaung (syukuran tahunan) dan
lain-lain maka warga mengadakan bersih kubur mengadakan upacara torok tae one boa (Nggoro, 2006:40-41).
Adapun tujuan melakukan hal ini
yaitu: sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur/roh nenek moyang yang berjasa
dalam membentuk dan membuka kampung atau kebun baru selama ia hidup. Maka
setiap mengadakan upacara-upacara besar wajib mengadakan torok ta
di tempat kuburan.
Untuk
menunjukkan kesatuan warga kampung muncul ungkapan, “ca mbaru bat
ka’
ng,
ca b
bat
elor, ca uma bat
duat”(satu
rumah tempat tinggal, satu kampung, satu kebun tempat kerja). Kelima tempat ini
disebut sebagai “kuni agu kalo” (tanah
tumpah darah) (Sutam, 2016:73).
2.3 Tinjauan Tentang Tua-tua Adat
Dalam konteks kehidupan
masyarakat Manggarai terdapat tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur budaya
tersebut yakni organisasi sosial. Organisasi sosial dapat dikaitkan dengan
keberadaantu’a-tu’a adat yang ada di
setiap kampung yang terdiri dari tu’a
golo, tu’a teno dan tu’a panga. Struktur organiasi lokal
tersebut diwariskan secara turun temurun.
Keberadaan organisasi
sosial tersebut memiliki peran penting dalam kehidupan suatu kampung antara
lain; sebagai pemimpin sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing (Bdk.
Koenjraningrat, 1983:210).
Dalam bagian ini ada
beberapa hal yang perlu penulis jelaskan yaitu: arti tu’a, arti adat, struktur lembaga adat, kriteria tu’a-tu’a adat, tugas dan wewenang tu’a-tu’a
adat.
2.3.1
Arti
Tu’a
Kata tu’a dalam kehidupan sehari-hari identik
dengan usia seseorang berdasarkan tingkatannya. Sedangkan dalam konteks
tertentu kata tu’a diartikan sebagai
kepala, ketua, orang yang memiliki
jabatan tertentu dalam kehidupan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat,
serta memiliki pengalaman yang luas, serta keberadaannya memberikan kontribusi
terhadap kehidupan suatu masyarakat baik melalui sikap, tutur kata maupun
tindakannya yang lebih bermuara pada nasihat, teguran, maupun bimbingan. Kata tu’amemiliki kesamaan arti dengan kata tua dalam bahasa Indonesia.
2.3.2
Arti Adat
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2009: 8), adat diartikan sebagai aturan (perbuatan) yang
lazim diturut dilakukan sejak dahulu kala. Adat tersebut berhubungan dengan
cara, kelakuan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan
yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Adat dalam bahasa
Manggarai di artikan sebagai adak/ruku.Adakberhubungan erat
dengan budi bahasa yang diungkapkan melalui tegur, sapa, serta kebiasaan yang
bersifat resmi melalui upacara adat. (Bdk.Verheijen, dalam Kamus I
Indonesia-Manggarai, 1967:2).
Adat pada hakikatnya
merupakan aktivitas yang melekat dalam kehidupan individu maupun kelompok
sosial di dalam masyarakat, karena manusia sebagai pelaku serta obyek atas
adat. Adat tersebut mencerminkan identitas seseorang maupun kelompok yang di
wujudnyatakan dalam bentuk kebiasan, sikap, perilaku sekaligus dalam arti
tertentu ia adalah pedoman yang mengarahkan kehidupan manusia.
2.3.3 Struktur Lembaga Adat
Dalam
bagian ini dipaparkan struktur tua-tua adat yang terdiri dari tu’a golo,
tu’a teno, tu’a panga, arti tua tu’a
golo, kriteria tu’a golo, tugas dan wewenang tu’a golo, arti tu’a
teno, kriteria tu’a teno, tugas dan wewenang tu’a teno, arti tu’a
panga, kriteria tu’a panga dan tugas dan wewenang tu’a panga.
2.3.3.1Tu’a Golo
2.3.3.1.1
Arti Tu’a Golo
Menurut Verheijen
(1967:145), tu’a b
/goloterdiri
dari dua kata yakni tu’a dan golo;tu’a
= ketua, orang yang sudah berusia tua; golo
= bukit, puncak, pedalaman, pegunungan). Tu’a
b
/
golo
artinya kepala kampung.
1.3.3.1.2 Kriteria Tu’a
Golo
Menurut Janggur
(2010:12), seorang tu’a golo/tu’a b
/tu’a
gendangdipilih
dari yang tertua berdasarkan keturunan asli dari kampung itu (wa
tu’a/wa
ngaso).Lebih jauh Nggoro
(2006:78-79), menegaskan bahwa untuk menjabat sebagai tu’a golo harus memenuhi hal berikut ini: sudah mencapai usia
dewasa, sudah menikah, orang asli warga kampung, sehat jasmani dan rohani,
memahami adat Manggarai, mampu memimpin dan tinggal di rumah adat.
Sementara itu tokoh
lain seperti Janggur (2010:14), menambahkan untuk menjaditu’a golodipilih oleh suku/wa’u
harus berkewibawaan, bijaksana dan sabar, memiliki ekonomi rumah tangga yang
cukup, bersikap adil, patut diteladani oleh seluruh warga kampung serta mampu
memberikan semangat kepada seluruh warga kampung.
Proses pemilihan kepala
kampung harus berdasarkan musyawarah dan mufakat warga kampung, dan juga bisa
dipilih secara aklamasi, atau dengan musyawarah melalui koordinasi antara
tua-tua keluarga ranting. Semuanya dikondisikan, karena lebih mengutamakan rasa
kekeluargaan dan persaudaraan.
2.3.3.1.3
Tugas dan Wewenang Tu’a Golo
Dalam kehidupan di sebuah b
o (kampung) seorang tu’a golo memiliki tugas dan wewenang dalam
menata kehidupan warga kampungnya. Adapun tugas dan wewenang tu’a golo
yakni : pertama, memimpin rapat yang berkepentingan umum warga kampung
serta bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara. Kedua, mengatur
kehidupan warga kampung dan memiliki hak menjatuhkan sanksi ketika terjadi
perkelahian diantara warga. Dalam memberikan sanksi atau
hukuman seorang tu’a golo harus mampu
menjatuhkan sanksi berdasarkan tingkat kesalahan yang dibuat oleh warga
kampungnya (Bdk. Janggur, 2010: 12).
Sementara itu,Deno
Kamelus, dkk (2001:57) menambahkan kewenangan tu’a
gendang/tu’a b
antara lain: menyelesaikan sengketa di
kalangan anggota gendang/b
,
yang
belum dapat diselesaikan tu’a kilo dan tu’a panga; mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan harta
benda bersama, termasuk tanah termasuk segala yang terkandung di dalamnya,
serta harta benda panga yang bersifat magis religius; menyelesaikan
hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenan dengan harta benda bersama,
seperti jual beli, tukar menukar, perkawinan anggota panga; mewakili gendang
dalam hubungan dengan pihak luar; menyelenggarakan musyawarah di kalangan tu’a-tu’akilo dan tu’a-tu’apanga
untuk membicarakan dan memutuskan berbagai hal menyangkut kepentingan anggota gendang.
2.3.3.2Tu’a Teno
2.3.3.2.1
Arti Tu’a Teno
Menurut Verheijen (1967: 658) tu’a
teno
adalah pemimpinatau pengurus dalam membagi lingko-lingko
yang menjadi hak milik anggota masyarakat dalam satu kampung.Kata tu’a teno terdiri dari dua kata yakni tu’a dan teno. (tu’a = ketua,
kepala; teno = kayu teno).
Menurut
pandangan masyarakat Manggarai, haju teno
sebagai simbol keberadaan seorang tu’a
teno. Bentuk haju teno yang
kurang bercabang, daunnya ketika gugur akan menyuburkan tanah, batang kayunya
yang lembut identik dengan kepribadian seorang tu’a teno yang jujur, dapat dipercaya, tidak otoriter dan memiliki kesabaran (Bdk. Nggoro,
2006:79).
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya seorang tu’a
teno harus mampu mengaplikasikan filosofi haju teno, sehingga ia tetap dipercaya oleh masyarakat dan
keberadaannya mampu melindungi segenap warga kampung.
2.3.3.2.2 Kriteria Tu’a
Teno
Menjadi seorang pemimpin dalam suatu
kampung bukanlah hal muda. Tu’a teno
sebagai salah satu pemimpin dalam sebuah kampung, tentunya bukan kehendak
pribadi, melainkan atas dasar kepercayaan sekelompok masyarakat yang turut
mengambil bagian dalam memperoleh tanah pada tanah ulayat.
Sebagai seorang tua dalam berurusan pembagian tanah, ia harus memahami
hukum adat tentang tanah. Tu’a teno
dipilih dari keturunan bangsawan yang mewakili tuan tanah, sehingga ia
mengetahui dengan pasti status keabsahan tanah, sejarah tanah
tersebut.Integritas, berjiwa pemimpin,arif dan bijaksana adalah sebagian syarat
untuk menjadi seorang tu’a teno.
Sikap sabar dalam menghadapi persoalan tanah bukan menjadi hal mudah, karena
berhubungan dengan harta benda. Kepekaan dalam dalam berbagai situasi yang
berkaitan dengan tanah adalah bagian yang harus melekat di dalam diri seorang tu’a teno (Bdk. Nggoro, 2006:80).
2.3.3.2.3Tugas
dan Wewenang Tu’a Teno
Tu’a teno
berurusan dengan pelaksanaan teknis dalam pembukaan kebun (lingko). Dalam menjalankan tugasnya harus mendapat restu dari tu’a tembong. Jika direstui oleh tu’a tembong ia memerintahkan seseorang
untuk memukul gong dalam rangka bermusyawarah terkait dengan penentuan tempat
pembukaan kebun (lingko yang ingin
dibagi) (Bdk.Bagul, 1996:30).
Ketika
seorang tu’a teno tak mampu
menjalankan tugas dan wewenangnya, jabatan tersebut dialihakan kepada keturunan
adik. Seorang tu’a teno berhak
mendapatkan sebidang ladang yang berbentuk segi tiga (Bdk.Janggur, 2010:12).
Menurut Nggoro (2006:81), tu’a teno
memiliki tugas yakni: untuk mencatat nama-nama peserta yang berhak mendapat
pembagian tanah ulayat, memiliki wewenang untuk menanam kayu teno dan satu
butir telur ayam kampung untuk ditanam pada bagian sentral tanah ulayat, tu’a teno mendapatkan pembagian pertama
daripada anggota lain.Dalam proses pembagian tanah ulayat, harus menjunjungtinggi
asas demokrasi, transparansi bersama anggota dan berjalan dengan penuh
damai.Bentuk sanksi yang diberikan oleh tu’a
teno kepada pemilik kebun disebabkan oleh lalai dalam membuat pagar kebun,
sehingga hewan peliharaaan bisa masuk dan
membuat rusak tanaman milik warga. Dalam memberikan sanksi disesuaikan
dengan tingkat usia tanaman yang rusak. Hukuman atau denda yang diberikan
kepada pemilik ladang tetapi tidak menggarapnya, tu’a teno berhak untuk menarik kembali dan memberikannya kepada
orang lain yang belum mendapatkan bagian dari lingko tersebut., dalam hal yang bersangkutan adalah penduduk kampung tersebut.Berkaitan dengan
masalah batas ladang tu’a teno
memiliki keahlian dalam menyelesaikannya (Bdk.Janggur,2010:18).
2.3.3.3Tu’a Panga
2.3.3.3.1ArtiTu’a Panga
Menurut Verheijen (1967: 478), tu’a panga
berasal dari dua kata yaitutu’a dan panga.Tu’a diartikan sebagai ketua,
pengurus, berusia tua; sedangkan panga=cabang
keluarga/famili.
Dalam suatu komunitas terkecil (b
o/golo
lonto)terdiri dari beberapa pecahan keluarga ranting dari satu
leluhur. Pecahan-pecahan keluarga itu membentuk keluarga panga. Jadi tu’a panga
merupakan kepala keluarga pada tingkatan ranting (Bdk. Nggoro, 2006:77).
2.3.3.3.2Kriteria Tu’a Panga
Menjadi pemimpin bagi anggota keluarga
tentunya bisa memimpin, memahami budaya, bisa berbicara, menerapkan
adat-istiadat dengan tepat, arif, bijaksana dan sudah menikah. Masa jabatan
seorang tu’a panga tak menentu
tergantung situasi dan kondisi (Bdk. Nggoro,2006:77).
2.3.3.3.3Tugas dan Wewenang Tu’aPanga
Menurut Janggur
(2010:16-17), tu’a panga berfungsi mewakili panga/wa’u-nya dalam segala urusan atau masalah hidup
bermasyarakat. Ia juga bertindak sebagai hakim yang mengadili bila ada masalah
intrn sukunya. Ia juga berfungsi menetralisir segala permasalahan
keluarga dalam sukunya.
Senada dengan itu, hasil
penelitian Deno Kamelus, dkk (2001:57), menunjukkan bahwa kewenangan tu’a panga/tu’a batu dapat dilihat dalam
hal berikut. (1) Menyelesaikan sengketa dikalangan anggota panga, yang belum dapat diselesaikan oleh tu’a kilo.(2) Menyalurkan aspirasi/kepentingan anggota panga ke tingkat yang lebih atas, yaitu tu’a gendang.(3) Menyemapaikan perintah-perintah dari tu’a gendang kepada anggota panga-nya untuk dilaksanakan. (4)
Mengatur hubungan hukum
antara anggota pangadengan harta
benda bersama, termasuk tanah dan segala yang terkandung di dalamnya, serta
benda panga yang bersifat magis religius.
(5) Menyaksikan
hubungan hukum
dan perbuatan hukum yang berkenan dengan harta benda bersama, seperti
jual beli, tukar menukar, perkawinan anggota panga.
Dalam memberikan sanksi
atau hukuman yang dijatuhkan kepada anggota sukunya/sub kl
n-nya). Menurut Janggur, (2010:19)tu’a panga dapat menjatuhkan denda
kepada sang suami bila ada suami memukul istrinya sampai babak-belur (ongga uncang winan), sanksinya berupa “wunis agu tahang” (mengobati luka-luka
pada istrinya dengan uang dan ayam atau kambing dan tuak). Selain itu biasanya tu’a
panga dan tu’a kilo bekerjasama
dalam mengadakan (adak hambor wina-rona)
yang berantem itu (mengadakan upacara perdamaian bagi suami dan istri agar percecokkan
itu segera berakhir dan mulai hidup baru dengan damai dan sejahtera). Memberikan denda kepada anggota sukunya yang kedapatan mencuri (denda ata tako) seperti mencuri buah-buahan
atau rebung (bok betong ko bok pering), mencuri jagung muda, dsb. Denda kepada pemuda atau
pemudi yang sengaja melihat orang yang sedang mandi (denda ata loma-l
lo).
Berkaitan dengan menjaga tata ruang budaya yaitu mbaru gendangtu’a panga tinggal di usungmbaru
tembong (kamar rumah adat). Dasar pertimbangannya bahwa tu’a panga
yang tinggal di rumah adat, dapat memudahkan koordinasi antara keluarga tingkat
ranting dalam berbagai musyawarah adat dan yang berurusan dengan kepentingan
keluarga ranting (Bdk. Nggoro, 2006: 77).
2.4
Tinjaun Tentang Mbaru Gendang
Salah satu karya
masyarakat Manggarai yaitu mbaru gendang.
Mbaru gendang merupakan wujud dari
dari kedua unsur kebudayaan yaitu: teknologi dan organisasi sosial.
Berbagaibentuk benda peninggalan masa lampau diyakni sebagai kekhasan dari
sebuah kebudayaan. Mbaru gendang
merupakan salah satu identitas sebuah kampung. Mbaru gendang memiliki fungsi yang sengat penting dalam segala
aktivitas warga kampung (Bdk. Koenjraningrat, 1983:2010).
Keberadaan mbaru gendang memiliki hubungan yang
erat dengan sistem organisasi sosial yang terdiri dari tu’a-tu’a adat. Tu’a-tu’a
adat memiliki peran penting dalam pemertahanan mbaru gendang. Mbaru gendang
dan tu’a-tu’a adat merupakan satu
kesatuan yang utuh dalam sejarah terbentuknya sebuah kampung.Mbaru gendang memiliki fungsi sebagai
tempat tinggalnya para tu’a-tu’a
adat, tempat diadakannya berbagai macam kepentingan warga kampung. Berbagai
kepentingan warga kampung tersebut, tu’a-tu’a
adat diyakini sebagai pemimpin umum warga kampung sesuai dengan tugas dan
wewenangnya masing-masing.
Ada beberapa point penting yang diuraikan di bawah ini diantaranya:arti mbaru
gendang, fungsi mbaru gendang, bagian-bagian pada mbaru gendang.
2.4.1
ArtiMbaru
Gendang
Menurut Verheijen (1967: 244), mbaru
tembong/gendang berasal kata mbaru yang berarti rumah, gedung yang berukuran besar. Arti kata mbaru tembong/gendang ialah rumah adat
yang memiliki atap menyerupai niang. Arti budaya istilah mbaru tembong ialah rumah tempat diadakannya
pertemuan,tempat pelaksanaan upacara adat serta tempat untuk menyimpan
gendang
2.4.2
Fungsi
Mbaru Gendang
Menurut Janggur (2010:23-240), mbaru gendang/mbaru tembong sebagai
rumah adat dalam kampung mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dari semua
rumah yang ada: Di dalam rumah gendang
ini sebagai tempat tinggalnya tu’a golo
atau tu’a gendang. Selain itu, ada
pula utusan dari tiap-tiap panga (sub klan) untuk tinggal dalam rumah
adat atau yang dikenal dengan tu’a panga .
Banyaknya tu’a panga yang tinggal bersama tu’a golo atau tu’a gendang
di dalam rumah adat ini tergantung dari jumlah sub klen yang ada di dalam desa
itu.
Di dalam rumah gendang itu dapat dijadikan tempat menyimpan harta benda
warisan para leluhur yang disebut harta pusaka atau dalam bahasa daerahnya “c
ca
mbat
”. Diantara semua “c
ca
mbat
” berupa warisan gendang, gong dan tambur
yang mempunyai arti tersendiri dalam hal kepemilikan tanah-tanah lingko yang dikuasi oleh suku yang
mendiami kampung tersebut.Tempat menerima tamu-tamu penting, seperti menerima
Bupati Manggarai dan semua unsur pimpinan daerah, menerima pembesar agama
seperti menerima Bapak uskup.Mbaru
gendang berfungsi pula sebagai tempat dilaksanakan pertemuan-pertemuan
penting, baik yang berhubungan dengan kedatangan tamu-tamu agung maupun
pertemuan-pertemuan khusus yang hadirnya hanya warga desa itu sendiri yang
dipimpin oleh tu’a golo atau tu’a
panga/tu’a teno. Di dalam “lutur”
mbaru gendang mereka bermusyawarah untuk mufakat.
Dari
sekian banyak pertemuan itu dapat disebutkan beberapa contoh berikut ini: pertemuan
untuk menyelenggarakan pesta-pesta adat seperti penti (pesta syukur atas
hasil panen), pesta wagal atau nempung yaitu pesta perkawinan
adat yang paling meriah.Pertemuan untuk menyelesaikan segala masalah yang ada
di dalam desa, pertemuan untuk membagi kebun baru (lodok lingko).Luturmbaru
gendang (ruangan yang luas dari rumah gendang) dapat difungsikan pula
sebagai tempat untuk membaringkan jenazah (loling
rapu) terutama jenazah dari pada tokoh adat yang tinggal didalam rumah gendang itu atau jenazah dari
tokoh adat yang tinggal di rumah lain tetapi karena peraturan adatnya harus
dibaringkan di dalam “lutur mbaru gendang”
maka harus ditaati. Sebagai tempat dilaksanakan di upacara penti, upacara c
pa,upacara
k
las/paka
di’a
(pesta kenduri), upacara perdamaian (hambor).
2.4.3
Bagian-bagian
dalam Mbaru Gendang
Menurut Janggur (2010:26-30),
ada tiga simbol utama menurut adat Manggarai dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut: (1) Kolong rumah (ngaung), (2) Tempat manusia tinggal (bagian tengah dari rumah), (3) Atap.
1. Kolong
rumah (ngaung)
Ngaung ini merupakan simbol dari dunia
bawah. Dunia yang penuh kegelapan, dunia orang mati. Masyarakat Manggarai
percaya bahwa, setan atau roh-roh halus yang hendak mengganggu kesejahteraan
manusia bersumber dari dunia bawah.
2. Tempat
manusia tinggal (bagian tengah dari rumah)
Pada
bagian tengah dari rumah melambangkan dunia yang terang. Dimana dalam
keseharian masyarakat Manggarai bereaksi untuk memberikan arti bagi
kehidupannya di dunia ini.
Pada
bagian tengah mbaru gendang dijumpai
beberapa hal penting berikut:
a.
Lutur
(ruangan)
Tempat
diladakannya segala aktivitas manusia seperti untuk melaksanakan semua upacara
adat, tempat bermusyawarah bagi segala kepentingan warga desa, tempat
dibaringkan jenasah bila ada yang meninggal, tempat menerima tamu-tamu penting
yang hendak mengunjunggi desa.
b. Siri Bongkok
(tiang agung rumah adat)
Padasiri bongkokdigantungkankannya
gendang/tembong, tambur dan gong. Dengan digantungkannya alat-alat musik tradisional
ini maka rumah ini disebut mbarugendang/mbaru tembong. Hal ini menunjukkan
mbaru gendang sebagai simbol atas hak
seluruh lingko yang dikuasi untuk
digarap sebagai milik suku yang menghuni kampung tersebut. Dalam peristiwa
penting warga kampung, seorang tu’a goloduduk
dan bersandar pada siri bongkok.
Dalam proses pembuatan mbaru gendang, siri bongkok diupacarai secara khusus dan istimewa yang dikenal
dengan “roko molas poco” (membawa
lari gadis dari hutan).
c. Lo’ang
( kamar tidur)
Jumlah
lo’ang/usung (kamar tidur) yang ada
pada mbaru gendang disesuaikan dengan
jumlah sub-klan (panga) yang ada
dalam sejarah terbentuknya sebuah kampung.
d.
Sapo
(tungku api)
Pada zaman dahulu ketika belum bisa membuat dapur,
maka sebagian kecil dari rumah adat ini digunakan sebagai dapur (sapo). Sekarang semua rumah gendang
ada dapurnya.
e. Para
(pintu)
Tempat
keluar masuknya manusia dan dipakai juga sebagai tempat dibunuhnya hewan kurban
dalam upacara adat seperti membunuh babi atau ayam.
3. Atap
(wuwung)
Atap rumah adat Manggarai yang disebut
sebagaimbaru gendang itu, berbentuk kerucut (niang). Karena itu seringkali orang menyebutnya mbaru niang, artinya rumah yang
berbentuk kerucut. Bentuk kerucut atau (niang)
mempunyai arti simbolis seperti terlihat pada puncak rumah adat. Adapun simbol
yang ada pada puncak kerucut itu yakni:
1) Lukisan
wajah manusia yang dibuat dari kayu
Lukisan wajah manusia menggambarkan
manusia Manggarai yang selalu tertuju ke atas (kepada penciptanya) kepada Tuhan
yang kerap disebut sebagai “Mori keraeng”.
Manusia menyakini bahwa, iaadalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi/puncak dari
semua ciptaan lain.
2) Lukisan
tanduk kerbau
Lukisan tanduk kerbau terbuat dari kayu, atau tanduk kerbau yang
langsung ditempelkan pada lukisan wajah manusia itu. Lukisan itu, ingin menggambarkan
kehidupan orang Manggarai yang memiliki daya juang yang tinggi serta harus kuat
seperti kerbau.
3) Lukisan
berbentuk kepala gasing (mangka)
Lukisan
berbentuk kepal gasing (mangka) berada pada bagian atas lukisan wajah manusia. Mangka memiliki arti yang menunjukkan
relasi manusia dengan Tuhan. Lukisan gasing itu juga menandakan hak ulayat atas
tanah-tanah yang dikuasi oleh penghuni kampung, sehingga di pusat lingko (lodok) kayu teno yang ditanamkan pada
saat pembagian tanah (lodok lingko)
dibuat seperti lukisan kepala gasing. Hal ini merupakan wujudnyata dari
ungkapan (go’
t) yang dikenal dengan “gendang on
lingkon p
’ang”.
Gendang yang digantungkan pada bagian siri
bongkok di mbaru gendang memiliki
hubungan yang erat dengan simbol teno yang dipancangkan di pusat kebun ketika “lodok lingko” (membagi kebun).
Pada
bagian dalam dari niang, tepatnya diatas lutur(ruangan) dan lo’ang(kamar/usung)
kita temukan dua bagian penting yaitu:
a. L
ba
atau lobo
L
ba atau lobo
adalah tempat menyimpan segala hasil bumi seperti :padi, jagung,dll.
b. L
mpa-ra
(ruangan kecil pada puncak niang)
L
mpa
ra
adalah tempat khusus untuk
mempersembahkan sesajian kepada Tuhan dan para leluhur. Selain itu ada pula
yang memanfaatkan l
mpa
ra
itu untuk menyimpan barang-barang pusaka,
warisan para leluhur yang dapat diperlihatkan kepada anak cucu pada upacara
adat untuk menghormati harta warisan itu. Harta warisan para leluhur itu berupa
emas, perak, perhiasan-perhiasan yang terbuat dari emas dan perak atau tembaga,
kiris (keris), pisau, pakaian-pakian
adat yang mengambarkan kebesaran zaman lampau dll.
Harta
pusaka itu disimpan dalam satu tempat khusus agar terhindar dari ngengat (pakot) dan karat. Harta warisan para
leluhur itu masih diyakini sebagai harta milik pribadi dari salah seorang
anggota suku, walupun ia yang bertugas menjaga dan memeliharanya. Karena harta
warisan itu sebut saja harta pusaka (c
ca
mbat
).
Puncak kerucut mbaru
gendang dengan simbol-simbol yang terdapat diatasnya diatasnya dililit
dengan tali ijuk atau rotan. Lilitan ijuk atau rotan itu simbol dari ikatan
persatuan dan kesatuan dalam kampung itu. Suku-suku (wa’u) atau panga (sub
klen) yang ada dalam kampung itu sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
4) Periuk
Persembahan
Pada bagian atap mbaru gendang terdapat periuk
persembahan. Periuk persembahan ini sebagai simbol kayakinan dan penghormatan
kepada Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya, dalam bahasa daerah hal
ini di ungkapkan “Mori jari agu d
d
k,
tanan wa awangn
ta,
par’n awo kolep’n sale, ulun l
wai’n lau”.
5) Rangga Mbe
(Tanduk kambing)
Berbagai peralatan musik seperti nggong, gendang dantambur digantungkan pada tanduk kambing tersebut. Tanduk ini
sebagai simbol tanggung jawab. Gong dan gendang memiliki fungsi yang sangat
berarti. Gong lazimnya, sebagai media pengganti surat atau lonceng yang memberi
tanda diadakannya pertemuan di mbaru
gendang. Gong dan gendang juga sering dimanfaatkan sebagai musik yang
menggiringi para pemain caci, mbata maupun sanda dalam berbagai kesempatan upacara penting warga kampung.
2.5 Tinjaun
tentang
Pendidikan Anak
Pendidikan anak dapat dikaitakan
dengan tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan yang memiliki kaitan
dengan pendidikan yaitu sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan dalam setiap
kebudayaan diwujudnyatakan dalam bentuk yang berbeda sesuai dengan keadaan alam
dan lingkungannya. Sistem pengetahuan itu dapat diwujudnyatakan dalam bentuk
ide atau gagasan (Bdk. Koenjraningrat, 1983: 2007).
Dalam bagian ini akan dibahas beberapa hal penting yaitu:pengertian
pendidikan secara etimologis, pengertian pendidikan secara luas dan pendidikan
menurut para ahli.
2.5.1
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitupaedagogie yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris pendidikan
dikenal dengan education, yaitu berasal dari kata to educate yang
berarti mengasuh atau mendidik. Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri
dari kata didik yang mendapat awalan pen da akhiran-an, yang berarti hal atau
cara mendidik (Bdk. Mahmud, dkk, 2015:
18).
Beberapa pengertian pendidikan yang kemukakan oleh beberapa ahli. Pertama, Ki Hajar Dewantara
mejelaskan bahwa “pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak. Pendidikan Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
agar sebagai anggota masyarakat mereka bisa mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya. Kedua, H. Horne, pendidikan adalah
“proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi
manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar
kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional,
dan kemanusiaan dari manusia.Ketiga,John Dewey, pendidikan adalah suatu
proses pembaruan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi secara sengaja
dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Proses ini melibatkan
pengawasan dan perkmbangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia
hidup (Bdk. Mahmud, dkk 2015: 19).
Menurut Langgulung (dalam Mahmud, 2015:19-20) pendidikan adalah proses
pemindahan nilai pada suatu masyarakat kepada setiap individu yang ada di
dalamnya dan proses pemindahan nilai pada suatu masyarakat kepada individu yang
ada di dalamnya dan proses pemindahan nilai-nilai budaya melalui
pengajaran.Pendidikan sama dengan hidup adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan seseorang, dan pendidikan adalah pengalaman belajar
setiap orang sepanjang hidup. Dalam arti luas, pendidikan memiliki
karakteristik sebagai berikut:
Pertama, pendidikan
berlangsung dalam konteks individu yang bersifat multidimensi, baik dalam
hubungan individu dengan Tuhannya, sesama manusia, alam maupun dengan dirinya
sendiri.
Kedua, dalam hubungan yang bersifat multidimensi itu, pendidikan berlangsung
melalui berbagai bentuk kegiatan, tindakan dan kejadian, baik yang pada awalnya
disengaja untuk pendidikan maupun yang tidak disengaja untuk pendidikan.
Ketiga, pendidikan berlangsung untuk semua orang, semua ras dan etnis, semua
umur, serta semua masyarakat dengan beragam status sosialnya.
Keempat, pendidikan tidak terbatas pada sekolah saja. Pendidikan dapat
berlangsung di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan alam.
2.5.2Pendidikan sebagai
Proses Transformasi Budaya
Menurut Mahmud, dkk (2015:20-21), pendidikan sebagai proses transformasi
budaya, diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke
generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi
dari generasi tua ke generasi muda misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa
tanggungjawab dan lain sebagainya.
2.6 Anak
dalam
Budaya Manggarai
Anak dalam keluarga masyarakat Manggarai merupakan
karunia Tuhan bagi keluarga yang paling tinggi. Karena itu suami dan istri
bertanggungjawab dalam pendidikan dan membesarkannya
(Bdk. Janggur, 2008: 123).
2.6.1
Bentuk Pendidikan Anakdalam
Budaya Manggarai
Bentuk pendidikan yang konkrit dalam keluarga adalah
nasihat, teguran, dan bimbingan. Nasihat, teguran, bimbingan itu boleh langsung
dalam bentuk ceritra-ceritra (turuk/nunduk). Dalam tombo turuk atau nunduk
itu diwariskan nasihat, teguran halus, nilai-nilai hidup, nilai kebijaksanaan,
ketekunan, keuletan, keberanian dan sebagainya (Bdk. Janggur, 2010: 65).
Menurut Janggur (2010: 65-67) cara mendidik anak-anak juga dapat ditampilkan dalam
bentuk seloka (go’et-go’et).
Pertama,agar anak bersikap sopan dalam berkata-kata: “n
ka
took-takak n
ho
lema de nggalang”, atau “n
ka
be wa data b
ta
dit
’’
,“
m
io atat it
-ngong
io weki rud”.
Kedua, Tentang nilai keadilan dapat diungkapkan “n
ka daku ngong data-
m
data-data muing.Ketiga,keterampilan dibedakan untuk anak perempuan dan anak
laki-laki. Anak perempuan diajarkan keterampilan menenun, menganyam dan
memasak. Sedangkan untuk anak laki-laki diajarkan keterampilan menempah besi untuk membuat parang,
pisau, tombak dll. Ungkapan yang sering dikaitkan dengan pendidikan keterampilanadalah:” pand
bako kop
potangmanuk, pand
kaba, pant
tuak, kokor gola, pand
langkok, pand
pand
.
Keempat,
pendidikan religius biasanya dilaksanakan dengan melibatkan secara langsung
anak-anak atau orang muda pria dan wanita dalam upacara-upacara religius
adat,mulai dari upacara-upacara dalam menari (sa
menyanyi (sanda),bahkan dipersiapkan
untuk menjadi pemimpin upacara.
Kelima,
relasi sosial juga ada bentuk pendidikan
yang khas dan khusus. Misalnya, agar anak-anak mengetahui jalinan hubungan antara dan
di dalam keluarga maka bapak dan ibu sesekali mengajak anak-anak untuk
mengunjungi relasinya (entah anak rona atau anak wina) atau
dengan family yang lain (wa’u). Kunjung mengunjung (anak wina terhadap
anak rona atau sebaliknya) ini (lambu anak rona-lambu anak wina atau lambu
wa’u)biasanya orang tua menjelaskan berbagai tingkatan
hubungan keluarga. Dengan demikian anak-anak sejak kecil sudah tahu hubungan
kekerabatnnya, yang menimbulkan rasa persatuan, persaudaraan, kerukunan.
Kunjung mengunjung (lambu) yang semakin sering, dengan sendirinya
semakin mendalam pengetahuan anak-anak tentang relasi sosial kekeluargaan
mereka saat itu dan nanti.
Pada masyarakat
tradisional Manggarai, dalam bidang didik mendidik berlaku semacam hukum adat
yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, demi menjalin keamanan dan
ketertiban, kesejahteraan, dan perdamian antara keluarga seperti:
1.
Anak
laki-laki dilarang menodai anak gadis orang (n
ka ngo
2.
Dilarang
menodai istri orang (n
3.
Dilarangmerebut/melarikan
anak gadis orang (n
4.
Dilarang
mengawini wanita yang sebenarnya masih dalam hubungan keluargakl
)
5.
Dilarang
berbuat inces (n
ka jurak)
Pelanggaran terhadap larangan-larangan
tersebut akan menimbulkan permusuhan, perpecahan, perkelahian bahkan
mendatangkan kutukan dari Yang Maha Kuasa, kalau memang larangan itu dilanggar
dan tidak menimbulkan akibat buruk maka perlu diadakan upacara-upacara
pemulihan, menolak balabencana. Upacara
pemulihan atau menolak bala yang dikarenakan pelanggaran larangan/hokum adat
antara lain: pana mata leso, k
pu munak, c
bong l
anak rona, podo
jurak.
2.6.2
Go’etSebagai Sarana Pendidikan Anak
Menurut Janggur
(2008:103) go’
t
adalah “ungkapan tutur bahasa seni dan indah dalam setiap upacara adat yang
diungkapkan seperti pantun atau prosa liris dengan rumusan persamaan bunyi
vokal dan sampiran”. Go’
tmerupakan ekspresi dari
sebuah kehidupan yang memiliki ajaran-ajaran nilai luhur dan pada ghalibnya
merupakan orientasi dari setiap manusia yang sadar akan martabat kepada
kebaikan.
1.
Penggolongan
go’
t
a.
Go’
t
dalam hubungan dengan sesama dalam keluarga (as
-ka’
)
b. Go’
t
dalam kebersamaan dalam kampung (golo lonto,
ka’
ng b
o)
c.
Go’
t
dalam relasi dengan orang lain (cama tau,
ata bana)
d.
Go’
t-go’et dalam relasi dengan penguasa (ata
tu’a laing)
e.
Go’
t
dalam relasi dengan empo (leluhur,
nenek moyang)
f.
Go’
t-go’
t
dalam relasi dengan Tuhan/Wujud tertinggi (Mori
agu Ngaran)
2.
Nilai
persatuan dan kesatuan yang diungkapkan melaui go’
t
sebagai nasihat (pendidikan) maupun motivasi terhadap orang Manggarai:Usaha
persatuan dalam hidup bersama, ungkapan go’
t-nya yaitu:
a) N
ka bik
ca
lid
, n
ka behas ca cewak.
Arti kata yaitu n
ka:jangan. Bikē:pecah. Lidē: wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Ca: satu. Behas: terlepas dari ikatan. Cewak: labu air yang kulitnya bila kering menjadi keras dan dapat dipakai sebagai wadah pengganti
piring.
Pengertian kata menurut ungkapan yaitu n
ka bikē ca lidē
artinya jangan pecah satu wadah. N
ka behas ca cewak artinya jangan terlepas satu ikatan labu air tempat
makan.
Ungkapan ini merupakan ekspresi dari harapan kiranya hidup manusia dalam
masyarakat tetap satu, utuh, kompak dan rukun.Isi ungkapan yaitu go’
t
ini berisi harapan yang mengajarkan supaya manusia menjaga, memelihara dan
membina persatuan, keutuhan, kekompakkan dan kerukunan dalam hidup bersama.
Makna ungkapan go’et “n
ka
bike ca lidē,
n
ka
behas ca cewak” yaitu:
Pertama,
go’
t
ini menampilkan gagasan persatuan yang berusaha menghidarkan manusia dari
bahaya perpecahan.
Kedua, go’
t
ini menyadarkan manusia bahwa persatuan merupakan sesuatu yang diperjuangkan
harus dipelihara dan dijaga, tanpa persatuan dengan yang lain manusia sulit
bekerja sama sebagai saudara, membina hubungan yang baik dan akrab dengan orang
lain.
Ketiga,
jika persatuan dan kesatuan terjaga dan terpelihara, maka kekompakan dan
ketentraman dapat menjadi nyata dalam kebersamaan lonto ca golo, ka’Ä“ng
ca b
o
(hidup dalam persekutuan persaudaraan komunal).
b)
Nai ca anggit, tuka ca leleng artinya yaitu seia sekata, satu konsepsi demi
kesatuan aksi.
c)
Ca natas batē labar, ca uma bat
duat, ca wa
t
ku agu ca mbaru batÄ“ ka’Ä“ng artinya yaitu satu halaman tempat bermain/bercanda
ria bersama, satu kebun(lingko)
tempat kerja/bertani bersama, satunya rumah tinggal.
Pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam kebersamaan diungkapkan lewat kata-kata lagu
kolong, lagu endong yaitu:
a)
ma agu anak n
ka woleng bantang artinya bapak dengan anak jangan beda pendapat.
b)
As
agu ka’
n
ka woleng ta
artinya sanak saudara/adik dengan kakak tidak
boleh berbeda pendapat.
c)
ma agu anak n
ka woleng bantang, as
agu ka’
n
ka woleng ta
, rantang tombo lata ngasang artinya bapak dengan anak, adik dengan kakak jangan
berbeda pendapat, supaya tidak dicerita orang nama baik keluarga atau supaya
nama baik tidak tercemar.
2.6.3
Prinsip Pendidikan Dalam Konteks Budaya Manggarai
Seluruh dimensi kehidupan orang
Manggarai diarahkan pada sebuah hukum keseimbangan. Upaya menyelaraskan hal
tersebut, maka melahirkan sebuah prinsip pendidikan yang menjiwai seluruh ativitas
kehidupan manusia. Hal tersebut bermuara pada terwujudnya sebuah kehidupan yang
ideal menurut pandangan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat “di’a ba w
ki”
agar “tadang sangg
d
da’at” (Baik dalam sikap supaya tidak terhindar dari berbagai hal
yang buruk).
Dalam bagian ini akan dibahas dua
point penting yakni: prinsip pendidikan sebagai tu’a atau ata tu’a laing dan prinsip pendidikan sebagai murid atau
generasi muda/anak.
2.6.3.1
Prinsip Pendidikan Sebagai Tu’a atau Ata Tu’a Laing
Menurut Sutam (2014:1-3) dalam
konteks kehidupan masyarakat Manggarai tu’a
atau ata tu’a laing diyakini
sebagai guru yang menjadi sumber dalam mendidik generasi muda maupun anak. Cara
atau proses dalam mendidik tersebut dikenal dengan prinsip 5 T. Kelima T
tersebut diantaranya, pertama, t
ing
(memberi), kedua, toing (mengajar), ketiga, titong (mendidik
atau membimbing), keempat, tatang/titing (menumbuhkan sikap kerja
sama), kelima, tatong (menumbuhkan
sikap afeksi).Kelima prinsip tersebut akan diuaraikan pada bagian berikut ini:
2.6.3.1.1
T
ing (Memberi)
Kata t
ing
memiliki arti yang sama dengan kata memberi dalam bahasa Indonesia. Memberi
adalah wujudnyata dari hukum cinta kasih. Dalam pandangan masyarakat Manggarai t
ing
memiliki arti yang cukup luas. Memberimenunujukkan sebuahperilaku konkrit
tenggung jawab terhadap anak melalui “tinu”
(membesarkan), toto nai bakok
(ketulusan dan keiklasan). Contoh: Tinu
anak pat mongko (membesarkan keempat anak), “t
ing
hang bara agu w
ngko
w
ki”
(membesarkan). T
ing
juga sebagai ungkapan totalitas orangtua dalam mendidik dan mengarahkan seorang
anak yang diwujudnyatakan dalam bentuk sikap “toto nai bakok” (memberikan hati yang tulus) (Sutam, 2014:2).
Sebagai tu’a atau ata tu’a laing memiliki
peranan penting dalam mendidik seorang anak “toi ata dia’n, pati ata di’an” (memberikan jalan yang baik dan
benar, dan berbagi atau mensyaring hal-hal yang bisa membangkitkan semangat
seorang anak).Memberi dengan penuh ketulusan serta totalitas dalam membesarkan
seorang anak adalah salah satubentuk pendidikan dalam konteks budaya Manggarai
yang dapat diaplikasikan kepada seorang anak atau generasi muda, agar ia bisa bertumbuh dan berkembang dengan
baik.
2.6.3.1.2
Toing(Mengajar)
Menurut Sutam (2014:2),
toing lebih bermuara pada aspek
kognitif. Ada satu kata yang mirip dengan kata toing yaitu waheng =
nasihat. Nasihat lebih merujuk pada sebuah tawaran berupa solusi yang diberikan
jika telah melakukan kesalahan, sedangkan toing
yang dimaksudkan disini, toing kudut p
ci
t
tombo (mengajar supaya bisa
berbicara).
Sebagai tu’a ia harus mengajarkan atau
memberitahukan kepada anak agar ia bisa mengetahui, mengenal dan memahami semua
aturan dan hal-hal yang penting dalam kehidupan bersama. Segala kata-kata bijak
yang diungkapkan oleh para tu’a-tu’a
adat harus dibagikan kepada semua warga kampung yang dengan didukung oleh sikap
yang tulus.
Dalam konteks
pendidikan yang harus diterapkan oleh orang tua atau tua-tua adat, ia harus
menjadi pelopor dalam mengarahkan serta mengontrol seorang anak, agar anak
memiliki sikap yang baik untuk mendengar dalam berbagai kesempatan penting,
maka dibutuhkan sebuah pengawasan dari orang tua supaya anak bisa pasangmata
t
l
lo
(melihat), tilu t
s
ng
t
(mendengarkan) apa saja yang baik dan yang buruk yang diberitahukan oleh
orangtua agar bisa direkam dalam memori dan dijadikan sebagai pengetahuan dalam
perjalanan hidupnya kelak.
Dalam berbagai upacara
penting, lazimnya orangtua mengarahkan anak- anak atau orang dewasa yang
diungkapkan melalui: s
ng
t
di’a sangg
n
taung hitu wa laun, boto sala ban l
m
u
tombon nituolon (dengar baik-baik, supaya tidak salah
kaprah dalam menyebarkan informasi).
2.6.3.1.3 Titong (Mendidik atau Membimbing)
Menurut Sutam (2014:2),
titong berarti mendidik, membimbing
dan menemani dengan memberikan contoh yang baik . Membimbing erat kaitannya
dengan cara yang diberikan atau petunjuk yang diarahkan agar seorang anak
memiliki gambaran yang dapat mendorong mereka dalam membuat sesuatu, misalnya
membuat pagar, kerja kebun, dll.
Dalam hal ini orangtua
memberikan petunjuk atau arahan berkaitan dengan segala sesuatu yang harus
dipersiapkan sebagai bekal bagi anak, baik dalam sikap, tutur kata maupun
tindakan nyata. Arahan tersebut, lazimnya agar apa yang diharapkan bisa
terwujud.
2.6.3.1.4Tatang/Titing (Menumbuhkan sikap kerja sama)
Menurut Sutam (2014:2),
kata tatangatau titingdijelaskan dengan ungkapan berikut: kudut kantis ati, cengka lemas, huru nuk, helu nai = menanamkan
kehendak yang kuat, pikiran yang tajam, roh keuletan. Dalam arti negatif tatang memiliki arti menghasuti anak
untuk berkelahi (provokator). Tatang memiliki
arti sebagai upaya untuk menumbuhkan sikap percaya diri, menumbuhkan sikap kerja sama sambil membuat
persaingan sehat.
Dalam konteks tertentu tatang diartikan sebagai cara untuk
membujuk. Dalam konteks sebagai pewaris kebudayaan ia harus mampu mengenal
dengan baik bakat dan minat seorang anak, sehingga dengan mudah ia memanggil
supaya generasi muda menuruti apa yang dikehendakinya.
Dalam hal ini, sebagai
orangtua ia harus mengenal dengan baik
kemampuan yang dimiliki oleh seorang anak, dengan demikian cara yang digunakan
untuk mendorong atau memotivasi seorang anak bisa tercapai.
2.6.3.1.5
Tatong (Menumbuhkan sikap
afekasi)
Secara harafiahtatong berarti membantu meletakkan seorang bayi
pada punggung seorang kakak yang lebih besar. Dalam konteks pendidikan sebagai tu’a
tatong memiliki arti sebagai orang yang mampu menyatukan orang lain dengan
memberi rasa aman dalam hidupnya. Sebagai tu’a ia harus mampu mengayomi
dan mempersatukan semua anak-anak agar tercipatanya suasana yang harmonis, kuat
secara fisik, ekonomi dan spritual (Bdk. Sutam, 2014:2).
2.6.3.2
Prinsip Pendidikan sebagai Generasi Muda atau Anak
Bagian ini dipaparkan
prinsip pendidikan seorang murid atau generasi muda dalam mengakses pendidikan
tentang budaya Manggarai. Menurut Sutam, (2014:3-8) dalam konteks pendidikan
sebagai anak dapat dicerminkan melalui konsep 5 T berikut ini:pertama, tating/toting, kedua, tanang, ketiga, tingeng, keempat, tamang,
kelimatoming.
2.6.3.2.1
Tating/toting (Sikap ingin bergabung)
Menurut Sutam, (2014:4)
tating/totingdipakai oleh orang tua
ketika memberikan semangat kepada anak-anak sedang belajar berjalan. Dalam tating ada target yang harus
dicapai/dituju. Tahap ini sangat peting, sehingga anak memiliki rasa percaya
diri dalam kehidupan selanjutnya.
Arti lain dari kata tating yaitu datang berkumpul atau
bergabung bersama orang lain. Sikap rindu akan sebuah kebersamaansangat penting
bagi seorang pemuda atau pemudi untuk mengikuti apa yang belum dia temui
sebelumnya. Contoh: “mai kamping it
, t
gi
nai ngalis agu tuka ngg
ngga
dit
(ada niat untuk meminta bantuan). Contoh:
Sikap untuk mau mendengarkan pengalaman orang lain, meminta nasihat atau
pendapat.
2.6.3.2.2
Tanang (Sikap siap untuk Diajar)
Menurut Sutam
(2014:5-6) kata tanang memiliki tiga
arti, yaitu (1) menyumbat, menutup lubang; (2) memakai, pakai, (3) bertahan.
Dalam konteks pendidikan sebagai murid tanag memiliki arti sebagai berikut:
Pertama, sikap fokus, tidak boleh
bercabang agar selalau memproritaaskan apa yang menjadi cita-citanya. Kedua,
sikap persatuan. Sebagai anak harus mempersatukan dirinya dengan sesama dan
dengan para tu’a-tu’a adat. Ketiga,
sikap pantang menyerah, sabar dalam penderitaan.Kata lain yang memiliki dengan
kata tanang dalam konteks pendidikan adalah kata tong (1) menampung, tadah; (2) menerima tanggunggan. Ini adalah
sikap tanggung jawab yang berarti siap menerima, mendengar dan melaksanakan apa
yang dianggap benar oleh tu’a-tu’a
adat.
2.6.3.2.3
Ting
ng (Meresap atau Menyerap)
Segala sesuatu yang
sudah pernah terjadi yang dapat dipantau oleh mata, telinga adalah modal bagi
kita untuk mempraktekan hal yang sama. Melalui niat dan partisipasi aktif dalam
memanfaatkan tua-tua adat dalam berbagai kesempatan penting, hal itu adalah
tanda yang mencerminkan kita adalah bagian dari kebudayaan (Sutam, 2014:7).
2.6.3.2.4 Tamang (Mengendap)
Sutam (2014: 8) tamang memiliki arti melekat, berisi, mengendap dan singgah. Dalam
proses pendidikan ilmu pengetahuan dan keterampilan dan berbagai kualitas
lainnya akan menempel seperti lem, tersusun rapi, dikumpulkan sedikit demi
sedikit lalu menumpuk. Mendengar berbagai nasihat dari orang tua, mengikuti
berbagai jenis ritus-ritus adat akan membantu kita untuk memiliki pengetahuan
yang luas.
2.6.3.2.5
Toming (Meniru)
Menurut Sutam (2014:9)
kata toming berarti contoh, ibarat,
seumpama, wujudkan. Pertama; sebagai anak atau murid kita meniru atau mencontohi apa yang
dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai guru; kedua, kita memberikan contoh
kepada orang lain, apa yang kita katakan kita wujudkan dalam perbuatan dan
tindakan nyata; ketiga, mengibaratkan atau membandingkan apa yang terjadi di
tempat lain (yang baik/ideal) dan di tempat kita sendiri; antara suatu benda
dengan benda yang lain; antara suatu keadaan dengan keadaan yang lain; keempat,
toming berarti berperan secara
maksimal dalam kehidupan ri’il sesuai dengan tugas dan fungsi. Dalam toming bukan saja berupaya untuk
mengerti dan memkanai tetapi juga memberikan arti dan makna.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Pada bagian ini,
penulis akan membahas hal-hal sebagai berikut, jenis penelitian, lokasi dan
waktu penelitian, narasumber, prosedur penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam
Moleong 2012:4), menjelaskan metode kualitatif adalah “prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang
masalah yang diteliti dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dalam
hal ini peneliti akan mencatat kata-kata tertulis dari buku, artikel, maupun
lisan dari narasumber setelah melakukan wawancara berkaitan dengan perannya
masing-masing dalam upaya pemertahanan mbaru
gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai
kepada anak.
3.1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Gulung.
Secara administrasi kepemerintahan Gulung merupakan salah satu kampung yang
berada dalam garis koordinasi pemerintahan Desa Pong Leko, Kecamatan Ruteng
Kabupaten Manggarai. Dasar pertimbangan penulis memilih Kampung Gulung sebagai
lokasi penelitian yaitu sebagai berikut:
Pertama,
keberadaan mbaru gendang yang sudah
mulai rusak, dapur rumah gendang mengalami rusak total dan tidak bisa
difungsikan, usung (kamar) yang ada
di rumah gendang tidak ada penhuninya dan lemahnya koordinasi antara para
tua-tua adat dalam merehabilitasi mbaru
gendang dan dapurnya, sehingga berdampak pada minimnya berbagai aktivitas
yang diselenggarakan seperti layaknya fungsi mbaru gendang.
Kedua,
anak jarang memanfaatkan mbaru gendang
sebagai sarana belajar dalam membekali diri dalam menunjang pengetahuan tentang
budaya Manggarai. Penelitian ini diadakan pada bulan Mei-Juni 2017.
3.1.3
Prosedur Penelitian
Adapun
prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan penelitian
yakni, studi kepustakaan dan studi lapangan. Pada bagian ini penulis akan
membahas mengenai kedua prosedur tersebut.
3.1.3.1 Studi Kepustakaan
Studi
kepustakaan merupakan prosedur yang dilakukan peneliti sebelum mengadakan
penelitian lapangan di Kampung Gulung. Pada tahap ini peneliti mencari beberapa
referensi yaitu buku-buku tentang kebudayaan, budaya Manggarai dan buku-buku
pendidikan yang relevan dengan masalah penelitian yaitu, peran tua-tua adat
dalam upaya pemertahanan mbaru gendang
dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
3.1.3.2 Studi Lapangan
Studi
lapangan adalah proses lanjutan dari studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk
memperkuat kajian teori tentang makna peran tua-tua adat dalam upaya
pemertahanan mbaru gendang dan
implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Dalam
Studi lapangan peneliti pergi ke Gulung dan melakukan wawancara dengan beberapa
tokoh adat, tokoh gereja dalam cakupan Kelompok umat basis (KUB) dan instansi
pemerintah dalam struktur wilayah desa dan dusun.
Dalam proses wawancara
peneliti menyiapkan beberapa alat dan bahan diantaranya: kertas hvs, belpoin,
alat perekam, video dan foto. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti
dalam menggali berbagai informasi yang diberikan oleh para narasumber,
sekaligus sebagai bukti fisik dalam memperoleh informasi terkait dengan konten
penelitian. Hasil wawancara tersebut akan di bahas pada Bab IV.
3.1.4
Jenis
dan Sumber Data
Sumber
data ialah subyek dari mana data itu diperoleh (Arikunto, 2006:129). Yang
menjadi sumber data dalam penulisan ini adalah buku-buku serta beberapa karya
yang tidak diterbitkan dan data-data
hasil wawancara dengan para narasumber.
Untuk memperoleh data maka di butuhkan wawancara dengan
narasumber. Dalam memperoleh narasumber, hal pertama yang ditempuh oleh
peneliti adalah menemui orang yang berkedudukan paling tinggi dalam Kampung
Gulung yaitu Kepala Desa Pong Leko. Langkah selanjutnya peneliti menemui para
tua-tua adat serta melakukan kesepakatan untuk memperoleh informasi berkaitan
dengan obyek yang akan di teliti. Dalam penelitian ini peneliti akan mencari
narasumber lain yang dianggap paling penting untuk melengkapi data atau
informasi terkait dengan sasaran penelitian. Mereka dipilih karena memiliki
peran penting dalam kehidupan sautu kampung, baik dilihat dari
jabatan/status, pengetahuan dan pengalaman yang cukup serta keberadaannya
memiliki kaitannya dalam segala dimensi
kehidupan suatu komunitas atau kampung.
3.1.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan langkah utama dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
mendapatkan data yang memenuhi standar
yang ditetapkan (Sugiyono, 2009: 308).
Untuk
memperoleh data maka dibutuhkan wawancara. Wawancara yaitu percakapan dua belah
pihak, yaitu pewawancara sebagai
orang yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
sebagai sumber jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara (Bdk.
Moleong, 2010:187).
Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara terbuka. Dalam wawancara terbuka para narasumber mengetahui
bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud dan tujuan
diadakannya wawancara. Dalam hal ini peneliti harus menyepakati dengan
narasumber terkait dengan waktu dan tempat diadakannya wawancara (Moleong,
2010:189).
Dalam
tulisan ini, untuk mendapatkan data maka peneliti menyiapkan instrumen
wawancara yang dibuat dalam bentuk pertanyaan wawancara. Untuk memperoleh
informasi yang akurat, peneliti mengajukan pertanyaan wawancara yang sifatnya
terbuka kepada tua-tua adat di gendang Kampung
Gulung dalam upaya pemertahanan mbaru
gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya Manggarai
kepada anak. Jawaban yang diperoleh dari para narasumber tersebut akan dibuat
kesimpulan secara menyeluruh.
Dalam
proses mengumpulkan data, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data
dengan teknik observasi dan dokumentasi. Hal tersebut dilakukan agar memudahkan
peneliti dalam menggali berbagai informasi ri’il di lapangan, untuk memberikan
gambaran tentang situasi dan kondisi beberapa obyek yang ada di lapangan dengan
cara mengambil gambar sebagai bukti otentik.
3.1.6
Teknik analisis data
Dalam penelitian ini
penulis menggunakan teknik analisis data menurut Miles dan Huberman (Sugiyono,
2012:92). Bagian ini penulis akan menjelaskan tiga hal penting dalam melakukan
analisis data:
Pertama,
reduksi data yang berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokus
hal-hal yang penting tentang peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap
pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak. Data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data berkaitan dengan peran tua-tua adat dalam upaya pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap
pendidikan tentang budaya Manggarai serta memilahnya sehingga data yang tidak
sesuai dengan fokus penelitian tidak perlu digunakan (bdk. Sugiyono, 2012:92).
Kedua,
penyajian data yaitu tindakan yang dilakukan oleh peneliti untuk mengelompokkan
data sesuai dengan temanya masing-masing. Dalam penelitian ini ada beberapa
tema penting yang akan disajikan. Pertama, peran tua-tua adat. Kedua,
pemertahanan mbaru gendang. Ketiga,
peran tua-tua adat dan pendidikan anak. Dari ketiga tema tersebut akan
dikembangkan kedalam sub-sub tema. Sub-sub tema tersebut akan dikembangkan
dalam sub-sub tema yang adalah hasil pengolahan dari pertanyaan yang diajukan
kepada narasumber dan jawabannya. Hal ini dilakukan agar memudahkan peneliti
dalam menyajikan data tentang perannya dalam pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan tentang budaya
Manggarai kepada anak (Bdk.Sugiyono, 2012:95).
Ketiga,
penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang diambil adalah suatu temuan baru yang diperoleh
berdasarkan informasi yang telah diberikan oleh narasumber kepada peneliti
selama proses pengumpulan data tentang peran tua-tua adat dalam pemertahanan mbaru
gendang dan implikasinya terhadap pendidikan anak yang dilakukan di lokasi
penelitian. Penarikan kesimpulan ini dapat menjawabi perumusan masalah yang
diajukan sejak awal dalam fokus penelitian yakni peran tua-tua adat dalam
pemertahanan mbaru gendang dan implikasinya terhadap pendidikan anak
akan dirangkum oleh peneliti (Bdk. Sugiyono, 2012: 99).
DAFTAR
PUSTAKA
I.
Dokumen
Damianus. Raru. Pesta Syukur Leluhur Empo Hadus. 2011. Gulung
Deno Kamelus, dkk.
2001. Penelitian dan Komplikasi Hukum
Adat Pertanahan di Kabupaten Manggarai. Kupang
Pemerintah Kabupaten
Manggarai. Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah. 2010. Ruteng.
II. Kamus
Poerwadarminta
WJS. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Verheijen.
1967. Kamus Manggarai I:
Manggarai-Indonesia. Diterbitkan oleh: Kononklik Institut Voor Tall-Land En
Volkenkunde.
Jilis. A. J. V. 1970. Kamus
Manggarai II: Indonesia-Manggarai.
Diterbitkan oleh: Kononklik Institut Voor Tall-Land End Volkenkunde.
III.
Buku-buku
Bagul Dagur Anthony. 1997. Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu
Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Urbraha Press.
Bagul Dagur Anthony. 2004. Prospek dna Strategi Pembangunan Kabupaten
Manggarai Dalam Perspektif Masa Depan. Jakarta: Indo Media
Barung Kanis dan Tote Yoseph. 2003. Pembelajaran Budaya Daerah Berbasis Lokal.
Ruteng: CV. Permata Karya.
Hemo Doroteus. 1997.
Tongka. Media Pengembangan Masyarakat.
Janggur, Petrus. 2008. Butir-butir adat Manggarai. Ruteng:
Yayasan Siri Bongkok.
Janggur, Petrus.
2010. Butir-butir adat Manggarai.
Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Moleong, J. Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Nggoro Marselinus Adrianus. 2006. Budaya Manggarai Selayang Pandang.
Surabaya: Silvia.
Sugiyono. 2012.
Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Verheijen, A.J. Jilis. 1991. Manggarai dan Wujud
Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL.
IV.
Karya
yang tidak Diterbitkan
Desa Pong Leko,
Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. 2016.“Laporan Pertanggungjawaban Kepala
Desa”. Longgo.
Sutam,
Inosensius. 2016. “Diktat Budaya Daerah”. Ruteng: STKIP St. Paulus.
Sutam,
Inosensius. 2014. “Pendidikan dalam PerspektifKebudayaan Manggarai”. Ruteng:
STKIP St. Paulus.
V.
Narasumber
Yohanes
Kaput, Tu’a GoloKampung Gulung.
Wawancara,25 Mei 2017
Karolus
Kenanu, Tu’a Teno Kampung Gulung.
Wawancara, 28 Mei 2017
Bonefasius
Kapur, Tu’a Panga. Wawancara, 23 Mei
2017
Bernadus
Babu, Tu’a Panga. Wawancara, 18 Juni
2017
Romanus
Gendo, Tu’a Panga. Wawancara, 25 Juni
2017
Rofinus
Wantur, Tu’a Panga. Wawancara, 1 Juni
2017
Wihelmus
Mohina, Sekretaris Desa Pong Leko,
Wawancara, 22 Mei 2017
Bonefasius
Harjon, Kepala Dusun Gulung,
Wawancara, 4 Juni 2017
Fransisikus
Abu, Ketua RT Gulung 1, Wawancara, 2
Juni 2017
Yustinus
Pambut, Ketua RT Gulung 2, Wawancara,
3 Juni 2017
Damianus
Raru, Ketua KUB Gulung, Wawancara, 30
Mei 2017
Yakobus
Jebandung, Ketua Kelompok Gulung 1,
Wawancara, 29 Mei 2017
Kanisius
Jelahut, Ketua Kelompok Rabeng,
Wawancara, 5 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar